Bisnis.com, JAKARTA — Petani kelapa sawit menghadapi tekanan ganda dari fluktuasi harga tandan buah segar (TBS) serta ketidakpastian akibat penertiban kawasan hutan yang berlangsung masif.
Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) menyoroti kondisi ini sebagai tantangan serius yang bukan hanya berdampak pada ekonomi petani, tetapi juga memengaruhi posisi strategis Indonesia sebagai produsen minyak sawit terbesar di dunia.
“Petani saat ini menjadi bagian dari rantai pasok domestik dan global, sehingga apapun yang terjadi pada harga CPO [crude palm oil] akan sangat berpengaruh terhadap harga TBS di tingkat petani,” kata Mutiara Panjaitan dari Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Apkasindo dalam Bisnis Indonesia Forum: Sembelit Industri Sawit, Masihkan Prospektif jadi Penopang? pada Selasa (24/6/2025).
Menurut Mutiara, setidaknya ada dua isu utama yang menjadi sorotan petani. Pertama adalah ketidakpastian sosial-ekonomi akibat harga CPO yang sangat fluktuatif, membuat petani ragu apakah sektor sawit masih dapat menopang kesejahteraan mereka ke depan.
Isu kedua yang tak kalah penting adalah penertiban kawasan hutan yang dilakukan secara intensif belakangan ini.
Mutiara menyebut pendekatan yang dipakai oleh pemerintah dan otoritas terkait belum sepenuhnya diterima dengan utuh oleh petani di lapangan.
Baca Juga
“Efek psikologisnya besar. Informasi soal siapa subjeknya, apa objeknya, dan berapa luas kawasan yang ditertibkan itu tidak tersampaikan secara utuh ke seluruh anggota,” katanya.
Dia menambahkan, petani bukan hanya bagian dari rantai pasok, tetapi juga menjadi subjek penting dalam penyelesaian status lahan dan bagian dari program ketahanan nasional, baik pangan maupun energi.
“Karena itu, penting sekali agar komunikasi kepada petani dilakukan dengan lebih transparan dan inklusif,” tegasnya.
Kondisi yang dialami petani juga menjadi perhatian Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU). Anggota KPPU Eugenia Mardanugraha mengingatkan posisi Indonesia sebagai produsen sawit nomor satu di dunia tak boleh tergeser hanya karena persoalan lahan.
“Kalau industri sawit kita menurun, maka perekonomian Indonesia secara keseluruhan juga akan terdampak. Dunia butuh sawit Indonesia. Jika pasokan terganggu, harga pangan global bisa melonjak,” kata Eugenia.
Menurutnya, pemerintah bersama pelaku industri perlu segera merumuskan arah kebijakan dan konsep jangka panjang agar industri sawit Indonesia tetap kompetitif dan berkelanjutan.
“Jangan sampai Malaysia menggantikan posisi kita hanya karena kita tidak menyelesaikan persoalan di dalam negeri,” kata Eugenia.