Bisnis.com, JAKARTA - Tahun 2023, DPR dan pemerintah mengesahkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) No. 2/2022 menjadi UU No. 6/2023 tentang Cipta Kerja. Namun, Subtansinya tak mengalami perubahan signifikan dibandingkan UU No. 11/2020.
Penulis hendak menyoroti perubahan status kawasan konservasi perairan laut (KKPL) dalam UU Cipta Kerja. Ketentuannya paradoks apabila dikaitkan ambisi pemerintah memperluas KKPL hingga 2023. KKPL Indonesia hingga 2023 mencapai 28,9 juta hektare/ha (8,7% total luas perairan Indonesia).
KKPL tersebut hanya melindungi 30% ekosistem laut penting: <5% padang lamun, dan <2% zona pemijahan ikan. Padahal, Indonesia menargetkan KKPL-nya mencapai 32,5 juta ha tahun 2030 (KKP 2022). Ironisnya, UU Cipta Kerja mengancam zona inti KKLP yang diperbolehkan kawasan pemanfaatan bagi program strategis nasional.
Jelas UU ini bukan hanya men-veto komitmen Indonesia memperluas KKPL-nya melainkan juga melanggar komitmennya sendiri dalam mengurangi emisi gas rumah kaca (EGRK) sebesar 29% tahun 2030 dan mencapai zero emissions tahun 2060 (Kemenkeu, 2022).
Contohnya, waktu perhelatan pertemuan G-20 akhir 2022 pemerintah mempertontonkan komitmennya terhadap kesepakatan Paris soal penurunan ERGK. Presiden Jokowi mengajak seluruh kepala negara G-20 menanam mangrove di pesisir pantai Bali. Mangrove berkontribusi mengurangi dampak perubahan iklim global melalui penyerapan karbon lewat proses fotosintesis. Paradoksnya, pemerintah malah hendak membangun terminal gas alam cair (liquefied natural gas/LNG) dengan cara mengonversi hutan mangrove Taman Hutan Raya (Tahura), Ngurah Rai Bali seluas 14,5 ha.
Pembangunannya bertentangan dengan Peraturan Daerah No. 16/2009 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Bali 2009—2029. Ditambah lagi kebijakan penangkapan ikan terukur (PIT) berbasis kuota lewat PP No. 11/2023 yang berpotensi mengancam perikanan adat/lokal (sasi, panglima laut, lubuk larangan, Mane’e) di enam zona wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia (WPPNRI).
Baca Juga
Pasalnya, sebelum terbitnya kebijakan PIT, perikanan adat tak pernah diajak berbicara. Padahal, mereka mengelola perikananannya mengedepankan prinsip dan nilai-nilai konservasi adat, pengetahuan lokal, budaya hingga spritualisme ekologi. Pemerintah semestinya berpihak pada kepentingan rakyat ketimbang memaksakan ambisi mengejar pertumbuhan ekonomi tinggi dengan mengorbankan KKLP.
Cara pandang pemerintah lewat UU Cipta Kerja No 6/2023 membenarkan pemikiran Guttmann (2018) bahwa model kebijakan ini dikategorikan sebagai kapitalisme berorientasi ekologi (eco-capitalism). Yaitu, paham kapitalisme yang diproduksi lewat kebijakan berbasis pasar untuk mengatasi problem lingkungan/ekologi.
Moore (2016) menyebutnya sebagai “capitalocene” yaitu proses akumulasi kapital tanpa henti dengan mengorbankan alam dan masyarakat. Imbasnya, menimbulkan ketimpangan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat rentan yang mengancam keberlanjutan sosialnya.
Lewat UU Cipta Kerja, pemerintah hendak mengejar pertumbuhan ekonomi tinggi lewat proyek-proyek investasi strategis. Didukung paradigma ekonomi biru (blue economy) yang berpotensi mengubah KKLP inti menjadi kawasan pemanfaatan di wilayah pesisir, laut dan pulau kecil.
Kesannya, UU-nya pro keadilan sosial dan ekologi hingga mendamaikan dilema orientasi pertumbuhan ekonomi versus keberlanjutan ekologi. Pasalnya, ekonomi biru (EB) pun tak menjamin bisa menghentikan perubahan status KKLP menjadi kawasan pemanfaatan serta menjamin keberlanjutan ekologi.
Artinya, EB merupakan model eko-kapitalisme. Di Indonesia payung hukumnya UU Cipta Kerja. Guttmann meragukan keberhasilan penerapan eko-kapitalisme ala UU Cipta Kerja. Pasalnya, ia sulit membayangkan bagaimana eko-kapitalisme menjamin keberlanjutan KKLP beserta sumber dayanya berhadapan dengan kepentingan ekonomi (investasi). Justru yang akan mendominasi adalah kepentingan pemodal (investasi) dan mengorbankan KKPL. KKLP bukannya bertambah luas melainkan kian menyempit demi program strategi nasional mencakup: pertambangan mineral (di wilayah pesisir dan pulau kecil), eksplorasi minyak dan gas lepas pantai, pariwisata bahari padat modal, reklamasi pesisir, PIT berbasis kuota, shrimp estate, serta bangunan konstruksi kelautan.
Terbitnya UU No. 6/2023 pastinya memakan korban. Bukan saja masyarakat pesisir, perempuan nelayan, pembudidaya ikan, hingga masyarakat adat kehilangan ruang hidup, dan akses terhadap sumber daya kelautan. Melainkan juga “hak hidup masyarakat dan alam” (right nature) ikut tergerus. Makanya, pertama, pemerintah dan DPR sebaiknya kembali menjalankan putusan MK.
Kedua, pemerintah dan DPR menginstitusionalisasikan rekognisi “hak hidup masyarakat dan alam (nature)” supaya memiliki “subyek hak” dalam tata kelolanya. Tujuannya, menjamin keseimbangan alam, mengurangi ketidakadilan sosial berbasis solidaritas dan kemajemukan berdemokrasi, serta memberi ruang partisipasi sosial bagi masyarakat lokal/adat.