Bisnis.com, JAKARTA- PT Gunung Raja Paksi Tbk (GRP) bersama Tata Metal Lestari mengagas forum bersama antara pelaku industri dan regulator untuk membahas segala upaya penurunan emisi karbon. Industri baja dikenal sebagai penyumbang emisi karbon yang signifikan.
Kedua perusahaan menginisiasi pembentukan sebuah ekosistem rantai nilai dari beberapa industri baja pelat dari hulu hingga hilir. Para pelaku industri ini berkomitmen menjalankan industri yang peduli terhadap lingkungan hijau.
Sebagai langkah awal atas inisiatif tersebut, diadakan Focus Group Discussion (FGD) yang juga melibatkan beberapa pemangku kepentingan terkait antara lain Kementerian Perindustrian, Kementerian Perdagangan, Kadin Net Zero Hub, World Resources Institute, Universitas Indonesia serta beberapa mitra lain.
“Kami mengapresiasi langkah awal pada hari ini yang dilakukan oleh GRP bersama dengan TML. Pemerintah maupun sektor swasta memiliki tanggung jawab yang sama dan seimbang, dalam usaha mencapai emisi nol sehingga sinergi berbagai pihak seperti ini sangat dibutuhkan, Kami harap inisiatif ini dapat menjadi percontohan bagi perusahaan-perusahaan lain di Indonesia, sehingga secara bersama kita dapat mendukung target pemerintah dalam mencapai net zero emissions pada tahun 2060 nanti,” jelas Muhammad Yusrizki, Ketua Kadin Net Zero, dikutip dari siaran pers, Rabu (10/5/2023).
Forum yang ditandai dengan FGD diharapkan mempelopori pembentukan sebuah ekosistem berbasis industri hijau (ambassador of change). Hal ini akan berguna mempromosikan dan meningkatkan kepedulian terhadap industri hijau sebagai upaya dalam mendukung target pemerintah dalam mencapai NDC dan NZE di tahun 2060.
Sejauh ini, baja merupakan komoditas penting bagi industri global. Persoalannya, hingga kini 70 persen produksi baja global berada di Asia.
Baca Juga
Lebih jauh, industri baja berkontribusi 4,1 persen dari total emisi CO2 dunia dan sekitar 3,2 persen dari semua gas rumah kaca (GRK). Hal ini berarti industri baja telah menyumbang emisi sebesar 15 persen dari emisi semua industri, dengan sekitar 70 persen emisi berasal dari penggunaan bahan bakar langsung dan sisanya datang secara tidak langsung dari listrik dan panas.
Dengan semakin berkembangnya emisi CO2 dari berbagai sektor termasuk industri yang mengurangi ketahanan atmosfir bumi dari panas matahari yang berdampak kepada bahayanya keberlanjutan pemanasan global dan perubahan iklim, maka berbagai kebijakan global yang mengontrol emisi CO2 didorong untuk diimplementasikan di seluruh dunia.
Berdasarkan Paris Agreement, maka setiap negara memberikan komitmen penurunan GRK dalam bentuk target Nationally Determined Contribution (NDC). Faktor penurunan emisi CO2 dari sebuah klasifikasi industri dijadikan benchmark (patokan) sebagai cap untuk menentukan pencapaian sebuah industri yang masuk dalam klasifikasi tersebut. Pencapaian ini yang akan menentukan nilai/ harga dari perdagangan dan pajak karbon didalam negeri maupun antar negara.
“Pemerintah Indonesia menaikkan target NDC 2030 dari 29 persen menjadi 31,8 persen untuk menuju karbon netral tahun 2060 atau lebih cepat. Bertransformasi menjadi karbon netral, Indonesia akan membutuhkan tindakan kolektif dari semua aktor yang melibatkan sektor swasta dan publik untuk membangun ekosistem yang berdaya-guna,” ucap Herman Supriadi, Kepala Pusat Standar Industri Hijau, Badan Standardisasi dan Kebijakan jasa Industri, Kementerian Peridustrian.