Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

RUU Kesehatan Ramai Ditolak, Pakar: Partisipasi Publik Harus Dibuka Seluasnya

Pakar Hukum Administrasi Negara UI menilai pemerintah harus memberikan akses partisipasi publik yang bermakna, tidak sekadar menyelenggarakan sosialisasi.
Pekerja memasang karangan bunga berisi penolakan RUU Kesehatan di Kompleks DPR, Jakarta, Kamis (13/4)/Bisnis-Himawan L Nugraha
Pekerja memasang karangan bunga berisi penolakan RUU Kesehatan di Kompleks DPR, Jakarta, Kamis (13/4)/Bisnis-Himawan L Nugraha

Bisnis.com, JAKARTA - Pakar menilai pemerintah harus membuka partisipasi publik seluas-luasnya terkait Rancangan Undang-Undang (RUU) Kesehatan yang saat ini banyak mendapat kritikan dari berbagai pihak. Pasalnya, RUU tersebut memuat banyak sektor dan bakal menggantikan sembilan undang-undang yang telah ada.

Pengajar di bidang Studi Hukum Administrasi Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia Fitriani Ahlan, mengatakan, RUU Kesehatan tentunya akan menuai pro kontra yang lebih besar karena konsekuensi beleid tersebut memuat substansi lebih banyak.

“Ini kan menggantikan sembilan undang-undang. Subjek yang diatur lebih kompleks, maka wajar pro kontranya lebih banyak,” ujar dia kepada Bisnis, Selasa (9/5/2023).

Misalnya, kata Fitriani, ada undang-undang topiknya satu, misalnya UU Tenaga Kesehatan yang bakal dilebur ke RUU Kesehatan. UU tersebut sebelumnya hanya mengatur tenaga kesehatan saja, tetapi lewat RUU Kesehatan mengatur berbagai macam kelompok.

“Dengan menggantikan sembilan UU, RUU ini berarti mengatur dokter, tenaga perawat, manajemen rumah sakit, dan bahkan yang cukup signifikan adalah mengatur BPJS, sistem jaminan sosial nasional [SJSN] sehingga menarik BPJS Kesehatan atau Ketenagakerjaan. Ini konsekuensi dari Omnibus Law,” tuturnya.

Fitriani berharap pemerintah untuk melibatkan partisipasi publik sebanyak-banyaknya. Sebab, dalam satu organisasi profesi pun terkadang berbeda pandangan.

“Kalau subjeknya banyak, meski berusaha partisipasi publik ya, saya lihat seminar-seminar, sosialisasi soal RUU Kesehatan. Kalau berniat membuat omnibus law, pemahamannya harus disadari banyak. Jadi pemerintah harus aware sadar diperhatikan,” ungkapnya.

Lebih lanjut, dia menyoroti juga dalam RUU Kesehatan turut juga memuat Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN)  yang dinilainya tidak berkorelatif.

“Akhirnya [RUU Kesehatan] juga menarik pengaturan sistem jaminan ketenagakerjaan yang sebenarnya bukan wilayah dari penyelenggaraan kesehatan dan rezimnya sistem jaminan sosial secara umum sebenarnya tidak begitu nyambung dengan RUU Kesehatan ini,” tegas Fitriani.

Kemudian, dia juga meminta pemerintah memperhatikan heterogenitas pengelolaan rumah sakit swasta.

“Ini harus didengar juga. Jadi cara mengelolanya berbeda-beda. Ini harus ditanya kepada pengelola yang punya sumber daya yang berbeda, jadi harus banyak yang lebih diperhatiin dan partisipasi publik yang sekarang bukan hanya membuka mereka memberikan masukan. Kalau toh pemerintah tidak mau menerima masukan, harus dijelaskan kenapa tidak bisa menerima,” tuturnya.

Menurut Fitriani, pemerintah harus memberikan akses partisipasi publik yang bermakna, tidak hanya sekadar menyelenggarakan sosialisasi-sosialisasi.

“Jadi partisipasi publik yang lebih bermakna itu lebih kepada masyarakat dapat jawaban terhadap masukan mereka diterima atau tidak. Kalau tidak diterima nggak apa apa, tapi dijelaskan kepada masyarakat. Karena tujuan saya berbeda, misalnya, saya tujuan A, kalau bapak/ibu tujuannya Z ya nggak nyambung, misalnya begitu. Jadi ibu bapak harus legowo,” tuturnya.

Sebelumnya, ribuan tenaga kesehatan (nakes) di beberapa wilayah di Indonesia menggelar aksi demonstrasi menolak Rancangan Undang-Undang (RUU) Kesehatan pada Senin (5/9/2023).

Adapun, yang turun langsung ke jalan untuk menyampaikan aspirasi adalah dokter-dokter dari lima organisasi profesi, yakni Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI), Ikatan Bidan Indonesia (IBI), Ikatan Apoteker Indonesia (IAI), dan Persatuan dokter Gigi Indonesia (PDGI).

Meski demikian, beberapa organisasi dokter lainnya juga ada yang mendukung, contohnya Perhimpunan Dokter Seluruh Indonesia (PDSI). PDSI menilai aksi demo menolak RUU Kesehatan tidak mewakili pandangan seluruh dokter dan nakes di Indonesia.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper