Bisnis.com, JAKARTA — PT Pupuk Indonesia (Persero) mengatakan rendahnya realisasi pembelian gas terkontrak yang telah diberikan pemerintah pada awal tahun ini disebabkan karena pasokan yang susut dari sisi hulu.
SVP Corporate Secretary PT Pupuk Indonesia (Persero) Wijaya Laksana mengatakan situasi itu membuat perseroannya cenderung tidak optimal untuk merealisasikan pembelian sesuai kontrak yang telah ditetapkan.
Seperti diketahui, lewat laporan Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) per 17 April 2023, realisasi pembelian gas dari sektor pupuk baru mencapai 601,28 bbtud atau lebih rendah 24 persen dari alokasi terkontrak sebesar 791,18 bbtud sepanjang triwulan pertama 2023.
“Hal ini dikarenakan pasokan gas [dari hulu] di bawah kontrak,” kata SVP Corporate Secretary PT Pupuk Indonesia (Persero) Wijaya Laksana saat dihubungi, Selasa (18/4/2023).
Wijaya menerangkan pasokan gas dari KKKS Medco E&P Malaka untuk Pabrik Pupuk Iskandar Muda (PIM) 2 belakangan justru berada di bawah kontrak yang telah disepakati. Seperti diketahui, PIM 2 mencatatkan kebutuhan gas sebesar 50 MMSCFD yang dipasok dari Medco dan PHE NSO serta PEMA Global Energi.
Selain itu, kata Wijaya, rendahnya realisasi pembelian gas terkontrak itu juga disebabkan karena keterlambatan penyelesaian pengembangan lapangan MDA-MBH Husky milik Husky-CNOOC Madura Limited (HCML) yang berlokasi di Selat Madura.
Baca Juga
Berbarengan dengan lapangan HCML itu, onstream penuh proyek Lapangan Gas Jambaran-Tiung Biru (JTB) yang dioperatori Pertamina EP Cepu (PEPC) juga ikut mengalami keterlambatan dari jadwal yang telah ditetapkan awal tahun ini.
“Sehingga pasokan gas untuk PT Petrokimia Gresik (PKG) masih berada di rate minimum,” kata dia.
Seperti diberitakan sebelumnya, SKK Migas menyoroti ihwal rendahnya realisasi pembelian gas bumi terkontrak dari tiga sektor potensial di antaranya industri, kelistrikan hingga pupuk hingga saat ini.
Deputi Keuangan dan Komersialisasi SKK Migas Kurnia Chairi mengatakan rendahnya realisasi pembelian gas dari jumlah kontrak harian atau daily contract quantity (DCQ) yang telah diberikan pemerintah berdampak negatif pada upaya pengembangan serta eksplorasi lapangan gas di sisi hulu di tengah momentum transisi energi saat ini.
Kurnia mengatakan sejumlah pengembangan lapangan yang terdampak sebagian besar berada di wilayah Jawa Timur. Selain itu, SKK Migas turut melaporkan, adanya penurunan pembelian gas yang signifikan dari pembeli di Singapura pada triwulan pertama tahun ini.
“Ada berbagai macam penyebabnya antara lain penurunan permintaan dari pelanggan-pelanggan sektor tersebut yang belum diperkirakan sebelumnya, sumber energi lain yang digunakan serta kendala teknis di buyer misalnya turnaround,” kata Kurnia kepada Bisnis, Selasa (18/4/2023).
Adapun SKK Migas melaporkan capaian salur gas untuk triwulan pertama 2023 berada di level 5.313 MMSCFD atau 100,7 persen terhadap target WP&B 2023. Torehan itu lebih rendah dari capaian salur gas triwulan pertama 2022 yang dipatok di level 5.350 MMSCFD.
Adapun, alokasi pasokan domestik tahun ini ditetapkan sebesar 3.539 bbtud. Alokasi itu lebih rendah dari ketetapan sepanjang 2022 di level 3.682 bbtud.
Sementara itu, kuota ekspor gas tahun ini ditetapkan sebesar 1.776 bbtud, bergeser sedikit dari alokasi tahun sebelumnya di angka 1.791 bbtud.
Lewat alokasi gas domestik itu, SKK Migas mengidentifikasi terdapat kesenjangan yang cukup lebar antara realisasi pembelian dengan DCQ di sektor industri, kelistrikan dan pupuk.
Realisasi pembelian gas sepanjang Januari hingga Maret 2023 di sektor kelistrikan berada di angka 580,68 bbtud atau lebih rendah 29,7 persen dari gas terkontrak di level 826,06 bbtud.
Sementara itu, realisasi pembelian gas dari sektor pupuk berada di angka 601,28 bbtud atau lebih rendah 24 persen dari alokasi terkontrak sebesar 791,18 bbtud.
Di sisi lain, realisasi pembelian gas dari sektor industri berada di angka 1.688,71 bbtud atau mencapai 5,9 persen dari gas terkontrak di level 1.796,33 bbtud.
“Konsekuensinya terhadap pengembangan lapangan saat ini bisa dimitigasi, dengan penerapan take or pay atas volume gas yang harus diserap atau dibayarkan pada level di atas 70 persen misalnya,” kata Kurnia.