Bisnis.com, JAKARTA - Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) akan menghentikan penjualan minyak goreng jenis premium di puluhan ribu gerai ritel modern mereka.
Rencana aksi tersebut dilakukan karena sudah setahun lebih penggantian selisih harga jual minyak goreng (rafaksi) belum juga diterbitkan oleh Kementerian Perdagangan (Kemendag) yang totalnya mencapai sekitar Rp344 miliar.
Seperti diketahui, pada Januari 2022 pemerintah memerintahkan agar minyak goreng kemasan premium bisa dijual seharga Rp14.000 per liter. Penjualan ini dilakukan hanya di ritel-ritel modern.
Harga Rp14.000 per liter bisa didapat, karena adanya subsidi selisih atas harga keekonomian dan yang ditetapkan pemerintah. Subsidi itu seharusnya ditanggung oleh Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS)
Ketua Umum Aprindo, Roy Nicholas Mandey, mengatakan berdasarkan penghitungan Direktorat Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Kemendag, harga keekonomian minyak goreng pada Januari 2022 Rp17.260-Rp18.000 per liter. Namun, saat itu, peritel diminta untuk menjual Rp14.000 per liter pada 19-31 Januari 2022.
Menurutnya, jika dihitung, terdapat selisih harga sebesar Rp3.260 per liter dengan harga jual Rp14.000 per liter kepada konsumen. Kebijakan itu diambil mengintervensi harga minyak goreng yang saat itu tengah mengalami kenaikan.
Baca Juga
“Jika Kemendag tidak juga membayarkan, kami mau tidak mau akan menyetop penjualan minyak goreng. Anggota kami ada 31 perusahaan dan mempunyai 48.000 ritel yang tersebar dan 80 persennya jual minyak goreng. Jadinya intinya akan melakukan itu, kapannya, kita akan koordinasi dengan anggota [perusahaan ritel], usulan kami ini,” kata Roy mengenai kapan waktunya penghentian penjualan minyak goreng kepada awak media di Jakarta, Kamis (13/4/2023).
Roy menuturkan, seharusnya pembayaran selisih harga dilakukan dalam 14 hari usai minyak goreng dijual di ritel modern sesuai Permendag No. 3/2022. Kala itu, Menteri Perdagangan masih Muhammad Lutfi. Namun, yang membuat Roy heran, Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan mengatakan kepada Aprindo jika Permendag No. 3/2022 sudah tidak berlaku.
“Peraturan kan mungkin saja berubah, tap ikan utang yang harus dibayar. Kan bisa saja buat peraturan baru kalau memang ada itikad baik. Sampai hari ini pun kita tidak pernah diajak diskusi soal pembayaran ini. Padahal, pas pemerintah minta rafaksi ini, rapat hampir tiap hari,” ujarnya.
Terkait mandeknya pembayaran utang ini, Roy mengaku Aprindo telah menyurati Presiden Joko Widodo (Jokowi). Pihaknya meminta agar, presiden membantu peritel terkait proses pelunasan utang tersebut.
Sebelumnya, Aprindo pun telah beberapa kali berupaya meminta bantuan mulai dari Kantor Staf Kepresidenan, Komisi VI DPR RI, dan juga BPDKS selaku pemilik anggaran.
“Menurut Kepala BPDPKS, dana itu sebetulnya sudah tersedia. Tinggal menunggu surat rekomendasi dari Kemendag. Bahkan, karena terlalu lamanya dana tersebut mandek di rekening, Kepala BPDPKS kerap ditanyai oleh Badan Pemeriksa Keuangan,” tutur Roy.
Lebih lanjut, dia mengaku kecewa dengan Menteri Perdagangan (Mendag), Zulkifli Hasan, yang justru meminta Aprindo untuk menggugat saja ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) saat dimintai klarifikasi oleh Komisi VI DPR saat rapat kerja beberapa minggu lalu.
“Kami [Aprindo) bukan hanya takut diteriaki oleh anggota, tapi kita juga takut lumpuh ketika diberi tugas oleh pemerintah lagi. Investor peritel menanyakan, kan ada yang dari domestik dan global. Kenapa tidak fair. Ini bisa menghilangkan animo investor masuk ke Indonesia. Pemerintah bisa buat peraturan tapi tidak bisa menjalankan,” ungkap Roy.