Bisnis.com, JAKARTA - PT Sinar Mas Agro Resources and Technology Tbk. (SMAR) mengaku khawatir terhadap aturan deforestasi Uni Eropa yang diberlakukan terhadap komoditas sawit. Dampak dari aturan yang dinilai diskriminasi itu, diperkirakan bakal melemahkan permintaan terhadap sawit Indonesia.
Direktur Sinar Mas Agro Resources and Technology Agus Purnomo mengungkapkan, sebelum adanya aturan deforestasi tersebut pun, dalam 3 tahun terakhir permintaan sawit Uni Eropa sudah berkurang. Pasalnya, negara-negara benua biru itu menargetkan penghapusan penggunaan bahan biodiesel berbasis sawit secara bertahap pada 2030.
“Yang terjadi sudah nol di beberapa negara Eropa. Buktinya secara statistik ekspor sawit beberapa tahun turun. Karena biodieselnya tidak boleh masuk. Eropa bilang mereka tidak larang, tapi mereka menginstruksikan masing-masing negara untuk tidak menerima sawit,” ujar Agus di Kantor Bisnis Indonesia, Jakarta, Senin (3/4/2023).
Dia menuturkan, suburnya sawit di Indonesia merupakan berkah tersendiri. Sebab, tanaman untuk bahan baku minyak goreng itu tidak bisa tumbuh baik di benua-benua lain, seperti Eropa dan Amerika.
Oleh karena itu, Agus mengatakan, Uni Eropa memberlakukan kebijakan diskriminasi terhadap sawit untuk melindungi petaninya. Hal ini lantaran di Eropa pun tumbuh industri minyak nabati dari kedelai, biji bunga matahari, dan lain sebagainya.
Menurut Agus, diskriminasi yang dilakukan Eropa tersebut akan lebih berdampak terhadap sawit Indonesia. Pasalnya, Uni Eropa mengategorikan sawit Indonesia 'berisiko tinggi' (high risk) deforestasi.
Baca Juga
“Indonesia high risk deforestasi menurut mereka, ini diskriminasi. Karena bisa saja nanti Malaysia disebut enggak. Nah, nanti mereka yang membuat sumber pasokannya dan membuat mengatur harga,” ucap dia.
Lebih lanjut, Agus mengatakan, aturan deforestasi Eropa tidak memiliki landasan yang kuat. Pasalnya, dalam 3 tahun terakhir deforestasi di Indonesia sudah turun sebesar 98 persen.
“Mungkin deforestasi sekarang hanya puluhan ribu hektar. Itu tidak diakui Eropa. Mereka menganggap kita seperti tahun 80-an membuka lahan besar-besaran, [untuk lahan sawit],” jelas Agus.
Oleh karena itu, pihaknya bersama pemerintah akan berupaya menempuh berbagai jalur untuk menyelesaikan persoalan diskriminasi yang diterapkan oleh Eropa tersebut.
Selain itu, tantangan lainnya industri sawit adalah kampanye negatif. Padahal, menurut Agus, sawit merupakan salah satu penghasil devisa negara.
“Jika search palm oil di Google mayoritas ditemukan negatif. Susah sekali karena sudah lama, mungkin harus pelan menjadi positif,” ucapnya.
Dikatakan Agus, Sinar Mas sejak 2014 sudah tidak membuka lahan hutan meski merupakan perusahaan terbesar sawit terbesar di Indonesia.
“Komoditi ini tidak merusak hutan, mungkin dulu pernah. Tapi sejak 2014 tidak membuka kebun baru. Kami punya luasnya yang kita jaga 2 kali dari luas Singapura, 80.000 hektar yang kami jaga hutannya itu,” tuturnya.
Menurutnya, produktivitas bibit perkebunan sawit Sinarmas saat ini 10-12 ton per hektare dalam setahun. Tiga sampai empat kali lipat dibandingkan mayoritas perkebunan yang ada di Indoensia yang hanya 3-4 ton.
“Perkebunan petani kita bahkan hanya 2-3 ton saja. Kami memang terbesar, tapi lahan kami 4 persen dari luas kebun,” ucap Agus.