Bisnis.com, JAKARTA — Pemenuhan kebutuhan pangan menjadi harapan besar dari berbagai program lumbung pangan atau food estate, yang kerap berujung kegagalan. Pemerintah perlu kembali mengatur strategi yang tepat dan rasional, agar urusan perut masyarakat dapat terjamin.
Guru Besar Institut Pertanian Bogor (IPB) Dwi Andreas Santosa menilai bahwa pengembangan lahan skala besar seperti food estate saat ini kerap menjadi semakin rancu. Banyak proyek intensifikasi pangan yang dikategorikan sebagai food estate sehingga tidak sesuai maksud dan tujuannya.
Menurutnya, awal mula program food estate bertujuan untuk menggantikan lahan sawah di Jawa yang terus berkurang akibat alih fungsi, terutama menjadi hunian. Misalnya, pada 2012 lahan sawah di Jawa masih seluas 8,38 juta hektare, tetapi pada 2019 sudah menjadi 7,46 juta hektare.
"Perlu dicari upaya untuk menggantikan lahan sawah tersebut agar digantikan di luar Jawa. Kalau sekarang berbagai proyek pertanian dikategorikan sebagai food estate tentu salah kaprah," ujar Andreas kepada Bisnis, pekan lalu.
Menurutnya, terdapat empat syarat utama dalam melakukan pengembangan pangan skala besar, yang sayangnya kurang menjadi perhatian pemerintah. Pertama adalah kelayakan tanah dan agroklimat, sebagai syarat mutlak pemilihan lokasi food estate.
Andreas menyebut bahwa banyak proyek food estate yang tanahnya saja tidak layak, misalnya tanah di beberapa titik berpasir. Jika syarat pertama itu saja tidak terpenuhi, menurutnya, sudah tentu proyek di sana gagal.
Baca Juga
Setelah tanah layak, syarat kedua adalah pemenuhan kelayakan infrastruktur. Andreas menyebut bahwa komponen penting di antaranya adalah irigasi dan akses jalan.
"Kalau kita tidak bisa mengelola air maka jawabannya pasti gagal. Ketika pemerintah membangun sistem irigasi, tata kelola air yang hanya setengah-setengah jawabannya pasti gagal," katanya.
Ketiga, kelayakan teknologi dalam penanaman. Menurut Andreas, hal itu mencakup varietas tanaman yang cocok di lahan terkait, penanganan hama, hingga teknologi pemupukan.
Keempat, kelayakan sosial dan ekonomi, yakni program food estate harus memastikan terjaganya aspek sosial dan ekonomi masyarakat sekitarnya. Menurut Andreas, syarat keempat ini seringkali bermasalah—menjadi runyam karena syarat pertama pun kerap tidak terpenuhi.
Andreas mencontohkan pengalamannya saat memberikan masukan terkait rencana rice estate di Merauke. Pemerintah menyatakan telah mengundang masyarakat adat dan mereka menyetujui proyek itu, tetapi terdapat perhitungan lain yang ternyata belum tepat.
Pemerintah menargetkan bahwa setiap petani bisa menggarap sawah 2 hektare. Menurut Andreas, target itu terlampau fantastis, bahkan petani di Jepang dan Korea Selatan yang memiliki teknologi tinggi pun relatif sulit mencapai itu.
Target itu dapat terpenuhi jika pemerintah mendatangkan tambahan tenaga atau melakukan transmigrasi 600.000 orang. Namun, tentu jalan itu tidak akan ditempuh karena akan menimbulkan masalah sosial.
"Saya kadang enggak paham kenapa hal sederhana seperti ini tidak dipikirkan oleh teman-teman di pemerintah. Lalu, soal kelayakan ekonomi, saya sederhana saja, lahan yang dibuka harus bisa menghasilkan 4 ton per hektare gabah kering panen, kalau tidak bisa sudah pasti [proyeknya] gagal," katanya.
Andreas pun menilai bahwa pemerintah harus membuat semacam perencanaan jangka menengah dan panjang terkait food estate. Menurutnya, setiap presiden hanya boleh menggarap di satu wilayah, sehingga proyek food estate dapat terkonsentrasi dan membuahkan hasil optimal.
*Wawancara dengan Andreas merupakan bagian dari laporan khusus Lumbung Pangan Limbung yang terbit di harian Bisnis Indonesia edisi Senin (3/4/2023). Baca laporan selengkapnya di epaper.bisnis.com.