Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Jokowi Mau Impor Beras Lagi saat Panen Raya, Ini Respons Petani

Serikat Petani Indonesia (SPI) menyesalkan rencana kebijakan pemerintah untuk kembali impor beras 2 juta ton di 2023.
Buruh melakukan bongkar muat karung berisi beras di Gudang Bulog Divre Jawa Barat di Gedebage, Bandung, Jawa Barat, Senin (30/1/2023). Bisnis/Rachman
Buruh melakukan bongkar muat karung berisi beras di Gudang Bulog Divre Jawa Barat di Gedebage, Bandung, Jawa Barat, Senin (30/1/2023). Bisnis/Rachman

Bisnis.com, JAKARTA - Serikat Petani Indonesia (SPI) menilai rencana Presien Joko Widodo (Jokowi) yang akan kembali mengimpor beras sebanyak 2 juta ton pada tahun ini merupakan bukti dari buruknya tata Kelola pangan pemerintah selama ini. Pasalnya, hampir setiap tahun persoalan pangan Indonesia selalu berulang, yakni masalah stok dan produksi.

Ketua SPI, Henry Saragih, mengatakan impor beras tersebut merupakan akibat dari lambatnya pemerintah mengambil kebijakan perberasan.

Menurutnya, kondisi ini terjadi karena rentetan Bulog yang tidak menguasai cadangan beras pemerintah (CBP) dari tahun lalu dan masalah ini berlanjut sampai tahun ini. Sehingga Bulog tidak bisa menjadi satu kekuatan yang bisa mengintervensi pasar.

“Pemerintah sebelum memutuskan impor beras harus terlebih dahulu memperbaiki peran, fungsi, dan cara kerja Bulog dalam menjalankan tugasnya sebagai cadangan pangan pemerintah (CBP). Baik itu dalam menyerap gabah dari petani ataupun prosedural-prosedural lainnya sehingga Bulog bisa menyerap gabah dari petani dan mendistribusikannya,” kata Henry dalam pernyataan resminya, Senin (27/3/2023).

Menurutnya, jumlah berapa banyak cadangan pangan pemerintah ini haruslah dibuat aturannya. Apakah 10 persen dari kebutuhan beras nasional, atau berapa persen dari kebutuhan nasional.

Dia menilai masalah pangan ini akibat keteledoran pemerintah yang mengurus pangan dan Bulog sejak tahun 2022 yang tidak melakukan tugasnya.

‘‘Kami menyesalkan langkah pemerintah mengambil kebijakan impor beras. Ini merupakan buah dari buruknya pemerintah dalam menangani persoalan pangan, yang hampir tiap tahun selalu berulang,” ujarnya.

Dia menjelaskan, pertama terkait CBP pemerintah, seharusnya ini bisa diantisipasi jauh-jauh hari. SPI juga menyoroti lambatnya pemerintah merevisi harga pembelian pemerintah (HPP) di tingkat petani sehingga penyerapan beras tidak maksimal. Padahal kalau hal ini dilakukan secara terukur dan jauh-jauh hari, tentu petani akan mempertimbangkan untuk menjual gabahnya kepada Bulog.

Saat ini penyerapan Bulog sangat amat kecil, yakni hanya 55.000 ton. Padahal, Bulog diberi mandat oleh pemerintah untuk setidaknya menyerap 70 persen pada saat panen raya, dari target 2,4 juta ton hingga akhir tahun.

Henry menuturkan SPI sampai saat ini tetap mengusulkan agar nilai HPP tetap di Rp5.600 per kg karena biaya produksi sudah Rp5.050 per kg.

Kemudian, angka harga eceran tertinggi (HET) beras terlampau tinggi sekali. Dia menilai hendaknya HET diturunkan agar harga beras tidak seperti sekarang ini terlampau mahal di tangan konsumen dan menjadi peluang korporasi-korporasi pangan besar menjadi spekulan.

Lebih lanjut, dia memandang kebijakan impor pangan ini tidak berada di momen yang tepat karena saat ini di beberapa wilayah Indonesia tengah panen raya.

“Meskipun ditujukan sebagai CBP dan untuk program bantuan sosial, tapi pengumuman impor beras dalam waktu dekat ini pasti berpengaruh, baik itu secara psikologis maupun langsung terhadap harga di tingkat petani. Pemerintah seharusnya belajar dari peristiwa surat edaran Badan Pangan Nasional lalu, yang langsung berimplikasi pada turunnya harga gabah di tingkat petani,” ujarnya.

Selain itu, pertimbangan keputusan impor beras tersebut juga tidak jelas alasannya. Henry mempertanyakan apakah memang produksi dalam negeri yang tidak cukup memenuhi kebutuhan nasional atau memang masalahnya terletak pada ketersediaan anggaran sampai mekanisme penyerapan gabah/beras di tingkat petani yang minim.

Di samping itu, jika memang terjadi penurunan produksi, akibat bencana banjir maupun hama dan sebagainya, ini harus jelas.

“Artinya terjadi ketidaksesuaian antara prognosis pemerintah [dalam hal ini BPS] dengan fakta di lapangan mengenai ketersediaan beras,” ucapnya.

Henry menyebut pemerintah terkesan mengambil jalan pintas dengan terus mengandalkan impor untuk mengatasi permasalahan pangan di Indonesia. Hal ini pada prinsipnya semakin menjauhkan pemerintah pada prinsip kedaulatan pangan.

Diberitakan sebelumnya, Bapanas menginstruksikan Perum Bulog untuk kembali mengimpor beras sebanyak 2 juta ton pada tahun ini. Sebanyak 500.000 ton pertama diminta untuk direalisasikan secepatnya.

“Menindaklanjuti hasil rapat bersama Bapak Presiden tanggal 24 Maret 2023 dengan topik Ketersediaan Bahan Pokok dan Persiapan Arus Mudik Idulfitri 1444 H, kami menugaskan Perum Bulog untuk melaksanakan pengadaan cadangan beras pemerintah dari luar negeri sebesar 2 juta ton sampai akhir Desember 2023,” demikian surat bernomor B2/TU.03.03/K/3/2023 tertanggal 24 Maret yang diterima Bisnis, Senin (27/3/2023).

Dalam surat tersebut juga disebutkan tambahan pasokan beras tersebut dapat digunakan untuk program Stabilisasi Pasokan dan Harga Pangan Beras (SPHP), bantuan beras kepada sekitar 21,353 juta keluarga penerima manfaat (KPM), dan kebutuhan lainnya.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Indra Gunawan
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper