Bisnis.com, JAKARTA - Tingginya permintaan biofuel sebagai bahan bakar akan mendorong kelangkaan minyak nabati sebagai sumber makanan. Hal ini meningkatkan perdebatan antara makanan versus bahan bakar.
Mengutip dari Bloomberg, Jumat (24/3/2023), pemerintah AS, Brasil dan banyak negara termasuk Indonesia gencar mencari alternatif bahan bakar menggunakan tumbuhan seperti kedelai atau kanola, atau bahkan lemak hewani.
Hal ini sebagai upaya untuk beralih dari bahan bakar fosil dan mengurangi emisi. Alhasil, ini menciptakan peluang bagi biofuel berbasis kelapa sawit, bahan alami kontroversial yang ditemukan hampir dalam semua produk pangan.
Permintaan yang begitu tinggi membuat produsen memburu minyak jelantah dan sludge, produk limbah dari pengolahan minyak sawit, sebagai bahan baku biofuel.
Ambisi yang tinggi ini mungkin menghadapi tantangan. Perang dan cuaca ekstrem membatasi pasokan minyak nabati dari sumber lain seperti kedelai dan bunga matahari.
Di Argentina, kekeringan parah telah menghancurkan produksi kedelai dari negara juara piala dunia ini, yang memang dikenal sebagai pengekspor utama minyak tersebut.
Baca Juga
Sedangkan di Eropa, pembatasan penggunaan pestisida beracun lebah akan mengekang penanaman tumbuhan Rapeseed yang bergantung pada penyerbuk. Sementara invasi Rusia yang sedang berlangsung ke Ukraina akan memangkas ekspor minyak bunga matahari.
Direktur Eksekutif Oil World Thomas Mielke menerangkan dengan pertumbuhan produksi minyak nabati yang diperkirakan akan melambat, biofuel dapat mendorong pasar global ke dalam defisit pada paruh kedua tahun ini.
Ia menilai AS, Eropa, Brasil, dan Indonesia bertanggung jawab atas sebagian besar pertumbuhan konsumsi bahan bakar biodiesel, solar terbarukan, dan biojet.
AS menggunakan campuran bahan baku seperti minyak kedelai, minyak lobak, minyak goreng bekas, dan lemak hewani.
Eropa memproduksi dari limbah, residu, dan minyak rapeseed. Indonesia terutama menggunakan minyak sawit untuk memproduksi biodiesel, sedangkan Brasil mengandalkan minyak kedelai.
Tren ini secara luas diharapkan menguntungkan minyak sawit, sebuah produk yang mendapat sorotan dalam beberapa tahun terakhir di tengah laporan deforestasi dan kerja paksa.
Dengan minyak sayur dan minyak nabati saingan yang semakin banyak digunakan dalam biofuel, beberapa permintaan akan meluas ke kelapa sawit, menurut James Fry, Ketua Perusahaan Konsultan Pertanian yang berbasis di Oxford LMC International Ltd.
Tapi pasar minyak sawit mungkin tidak bisa mengimbangi. Produksi di Indonesia dan Malaysia, yang bersama-sama menyumbang 85 persen dari pasokan dunia, mengalami stagnasi.
Hal itu dikarenakan mulai tuanya usia pohon sehingga tidak produktif dan lambatnya penanaman kembali, cuaca yang tidak menentu serta pembatasan deforestasi yang membatasi ekspansi cadangan lahan.
Ancaman terhadap pasokan, terutama dari perubahan iklim, akan mendorong keniakan harga komoditas pertanian dan memperlambat upaya dunia mengubah makanan menjadi bahan bakar.
Badan Energi Internasional telah memperingatkan bahwa membengkaknya permintaan biofuel dan menjulangnya krisis bahan baku, jika tidak diatasi, akan merusak potensi biofuel untuk berkontribusi pada upaya dekarbonisasi global.
Tahun lalu, invasi Rusia ke Ukraina mengganggu perdagangan minyak bunga matahari global dan mendorong permintaan minyak kelapa sawit dan kedelai, membuat harga mencapai rekor tertinggi.
Bahkan kemudian, sebagian besar negara tidak melonggarkan kebijakan biofuel mereka yang menyebabkan penurunan permintaan di beberapa konsumen minyak nabati, terutama dari negara berkembang.
“Dalam periode kekurangan pasokan, penjatahan permintaan yang diperlukan tidak boleh dilakukan hanya di pundak konsumen makanan. Ini adalah pelajaran yang harus kita pelajari dari tahun lalu,” terang Mielke.