Bisnis.com, SOLO - Media sosial sedang dihebohkan dengan perhitungan biaya cukai atau bea masuk yang dibebankan kepada masyarakat saat mengimpor barang.
Bea masuk merupakan pungutan barang impor yang diatur dalam Undang-Undang (UU) Nomor 17 Tahun 2006 tentang Perubahan atas UU No. 10/1995 tentang Kepabeanan.
Melansir dari situs klikpajak, pajak impor adalah pungutan yang dilakukan oleh pemerintah melalui Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) atas komoditas atau barang-barang impor.
Pajak impor atau PDRI ini dihitung di luar dari bea masuk dan cukai, yang terdiri dari beberapa jenis pajak, yakni:
- Pajak Pertambahan Nilai (PPN)
- Pajak Penghasilan Pasal 22 (PPh 22)
- Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM)
PDRI atau pajak impor dihitung berdasarkan nilai impor barang. Nilai impor merupakan nilai barang di dalam international commercial term CIF atau Cost, Insurance and Freight.
CIF adalah total nilai harga barang + ongkos kirim dan asuransi.
Baca Juga
Dengan kata lain, nilai impor adalah hasil penambahan bea masuk dengan nilai impor suatu barang.
Perlu diketahui, per 30 Januari 2020 nilai impor sebesar kurang dari USD3 per kiriman atau setara dengan Rp43.500 (kurs Rp14.500 per dolar AS) tak akan dikenai Bea Masuk, tapi dikenakan PPN 10 persen (kini 11 persen).
Jika nilai impor lebih dari USD3 hingga USD1500 per kiriman, maka akan dikenakan Bea Masuk 7,5 persen dan PPN 10 persen (kini 11 persen).
Kemudian jika nilai impor lebih dari USD1500 per kirian, maka akan dikenakan Bea Masuk, PPN, dan PDRI.
Penerima barang kiriman senilai lebih dari USD1500 ini harus menyampaikan PIB (Pemberitahuan Impor Barang) kepada Bea Cukai untuk menghitung besaran pajak yang harus dibayarkan.
Kemudian adanya tambahan PPh Pasal 22 Impor sebesar 7,5-10 persen.
Hal tersebut tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan nomor PMK 199/PMK.010/2019.
Lalu bagaimana cara menghitung biaya bea cukai terhadap barang impor?
di halaman berikutnya...