Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Impor Bahan Baku/Penolong Anjlok Drastis, Kadin Wanti-Wanti Pemerintah

Impor bahan baku atau bahan penolong yang terjadi selama Februari kian besar, padahal tengah menghadapi tren kenaikan seiring jelang Ramadan dan Idul Fitri.
Ilustrasi ekspor dan impor/Istimewa
Ilustrasi ekspor dan impor/Istimewa

Bisnis.com, JAKARTA- Kamar Dagang dan Industri (Kadin) berharap anjloknya impor bahan baku/penolong periode Februari ini menjadi perhatian pemerintah. Jika terus terjadi, dikhawatirkan akan memicu de-industrialisasi dalam negeri. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat impor bahan baku/penolong kontraksi 15,09 persen secara bulanan, dan kontraksi 8,10 persen secara tahunan.

Wakil Ketua Umum Kadin Koordinator Bidang Maritim, Investasi, dan Luar Negeri Shinta W. Kamdani mengatakan fenomena tersebut menjadi alarm untuk pelaku usaha yang seharusnya mendapat perhatian pemerintah secara khusus. Sebab, kinerja impor bahan baku/penolong yang menurun kian dalam terjadi  menjelang Ramadan dan Idul Fitri.

“Ini kami anggap fenomena anomali dan tidak seharusnya terjadi. Seharusnya kinerja impor bahan baku/penolong bisa lebih tinggi daripada yang dicatat BPS karena pada periode-periode ini industri nasional seharusnya masih perlu meningkatkan supply barang/jasa,” ujar Shinta kepada Bisnis, Kamis (16/3/2023).

Dia menambahkan pelaku usaha perlu memperoleh tingkat impor yang memadai untuk memenuhi permintaan konsumsi pasar domestik yang masih sehat dan suportif terhadap demand output industri nasional, khususnya manufaktur.

Shinta mengungkapkan apabila impor bahan baku menjadi berkurang drastis ketika permintaan pasar masih sangat baik, kemungkinan besar kinerja impor yang turun signifikan ini disebabkan oleh hambatan impor yang disengaja (pengetatan izin/prosedur impor).

“Sehingga berpotensi menciptakan constraints atau tekanan terhadap pertumbuhan produktifitas industri nasional dalam jangka pendek [1-3 bulan ke depan] yang seharusnya masih bisa lebih tinggi,” tutur dia.

Meskipun mungkin tujuannya baik, kata Shinta, misalnya untuk menciptakan surplus perdagangan yang bisa berkontribusi terhadap penerimaan devisa dan APBN, kondisi ini akan menjadi bumerang terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia. Sebab, akan menekan produktifitas industri manufaktur yang merupakan sektor penyumbang pertumbuhan terbesar terhadap Product Domestic Bruto (PDB) Indonesia.

Selain itu, hal itu juga dapat menekan potensi penciptaan lapangan kerja di sektor formal (decent work), dan pada akhirnya akan mempengaruhi pertumbuhan lapangan kerja dan daya beli pasar secara umum.

“Kalau terjadi dalam waktu yang lama, kami juga khawatir kondisi ini dapat memicu de-industrialisasi karena industri-industri yang ada di Indonesia tidak dapat memperoleh supply yang memadai dan memiliki kinerja usaha yang diinginkan,” tutur Shinta

Dia berharap pemerintah untuk mengevaluasi pengetatan ijin/prosedur impor yang dilakukan saat ini agar tidak menjadi boomerang terhadap penciptaan produktifitas industri-industri di dalam negeri yang seharusnya masih bisa tumbuh lebih tinggi.

“Ini ripple effect yang akan jauh lebih detrimental bagi Indonesia dibandingkan surplus perdagangan yang semakin sedikit atau malah defisit neraca dagang. Jadi sebisa mungkin pemerintah perlu mengevaluasi,” tegas Shinta.

Diketahui, saat ini pemerintah melakukan kebijakan impor bahan baku penolong harus melalui neraca komoditas. Kebijakan itu membuat para importir tak kunjung mendapat izin impor sejak 15 Desember 2022. Beberapa bahan baku industri yang tidak bisa masuk sendiri berjumlah 21 komoditas, mulai dari besi baja dan turunannya, bahan baku plastik, bahan baku pelumas, hingga bahan baku masker.

Sebelumnya, BPS mencatat nilai impor pada Februari 2023 mencapai US$15,92 miliar. Angka ini turun 13,68 persen dibandingkan Januari 2023 atau turun 4,32 persen dibandingkan Februari 2022.

Dia menuturkan penurunan impor nonmigas sebesar 13,03 persen pada Februari 2023 terhadap bulan sebelumnya karena beberapa komoditas yaitu mesin dan perlengkapan elektrik serta bagiannya (HS 85) turun 15,22 persen; mesin peralatan mekanis serta bagiannya (HS 84) turun 7,27 persen; serta tas plastik dan barang dari plastik (HS 39) turun 15,21 persen.

Bila dilihat menurut penggunaan barang, kontribusi terbesar berasal dari impor bahan baku/penolong dengan nilai US$ 11,79 miliar pada Februari 2023. Impor bahan baku/penolong kontraksi 15,09 persen secara bulanan dan kontraksi 8,10 persen secara year on year.

“Impor bahan baku/penolong menurun secara bulanan disebabkan karena komoditas minyak mentah, bahan bakar bensin tanpa timah, bijih gandum,” tutur Habibullah.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Penulis : Indra Gunawan
Editor : Kahfi
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper