Bisnis.com, JAKARTA - Polemik (kebijakan) harga beras tak kunjung berakhir, dari medium hingga premium.
Masalah ini sudah berlarut-larut dan sampai awal Maret 2023 belum ada solusi terbaik untuk mengakhirinya.
Dalam situasi yang penuh ketidakpastian ini, pemerintah-Kementrian Perdagangan justru hadir dengan opini yang kontraproduktif terutama dalam harga beras premium yang membuat petani dan penggilingan padi kecil makin terjepit.
Pernyataan Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan pada 24 Februari 2023 bahwa tidak ada batasan untuk HET beras premium jelas akan membawa konsekuensi panjang, tidak terkendalinya harga.
Pernyataan ini juga menjadi kode bahwa pemerintah tidak akan mempersoalkan kenaikan harga dan pasti yang diuntungkan adalah penggilingan padi besar dan pemilik ritel modern.
Kita bisa sebut, apa gunanya ada HET beras premium sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 57/M-DAG/PER/8/2017 tentang Penetapan Harga Eceran Tertinggi Beras bahwa HET beras premium Rp12.800/kg artinya untuk kemasan 5 kg dijual Rp64.000. Faktanya ada jenis beras premium seperti Pandan Wangi yang dijual ritel modern mencapai Rp90.000 untuk ukuran 5 kg.
Baca Juga
Jika ini berlarut-larut maka nasib petani kecil akan makin terpojok, dan kondisi di banyak tempat sudah banyak mati suri. Mereka kalah dari penggilingan besar mulai dari perebutan bahan baku (gabah), modal, teknologi dan efisiensi, angkutan logistik, dan lain-lain yang berakibat banyaknya penggilingan kecil tutup seperti terjadi di Sumatra Utara, Jawa Timur, Jawa Barat, dan tempat-tempat lainnya. Contoh, penggilingan padi kecil di Jawa Timur yang jumlahnya 15.640 dimana 40% telah mati suri. Jika tiap penggilingan itu mempekerjakan 10—15 karyawan, maka ada puluhan ribu kehilangan pekerjaan.
Terkait rebutan bahan baku dengan produksi gabah kita di kisaran 80 juta ton/tahun sementara kapasitas penggilingan padi lebih 200 juta ton maka sudah pasti penggilingan padi besar lebih diuntungkan. Data Perpadi 2018 menyebut total usaha penggilingan padi di Indonesia mencapai 182.000 unit, dengan penggilingan besar sebanyak 2.000 unit, penggilingan sedang 8.000 unit, dan terbanyak penggilingan kecil 172.000 unit.
Penggilingan padi kecil umumnya tidak memiliki alat dan mesin yang lengkap sehingga tidak mampu menghasilkan beras premium. Jika pun mampu, biaya produksi beras tinggi. Penggilingan padi kecil juga menghadapi kehilangan yang tinggi pada hasil ketika tahap pengeringan dan penggilingan, menghasilkan banyak beras pecah, serta rendemen giling rendah.
Kekalahan ini jika terus dibiarkan membawa konsekuensi industri perberasan nasional akan makin lemah karena beras yang dihasilkan tidak berkualitas karena didominasi penggilingan padi dengan kualitas rendah. Kualitas dan harga beras banyak dipengaruhi oleh industri penggilingan. Makin lemah industri penggilingan padi akan memperlemah keberadaan industri padi, seterusnya akan berpengaruh pada pendapatan petani dan keberlanjutan swasembada beras.
Penggilingan besar ini memang bermain untuk mencari margin besar, di mana mereka jarang membeli gabah secara besar-besaran saat panen raya di bulan Maret dan April, mereka membeli di bulan Agustus—November saat panen makin sedikit dengan harga yang tinggi dan mengolahnya menjadi beras premium dengan harga jual jauh lebih tinggi.
Selanjutnya penetapan HET beras menjadi salah satu akar masalahnya. Sebagai informasi HET beras medium di wilayah produsen Rp9.450/kg dan HET beras premium di wilayah produsen Rp12.800/kg. Sebelumnya sempat diwacanakan HET ini akan dikoreksi tetapi masih tertunda terus. Patokan HET memang ideal bagi pemerintah untuk memudahkan pengawasan tetapi bagi pengusaha memaksa mereka untuk menekan margin pemasaran.
Persoalan beras ini sudah terjadi berulang-ulang dan karenanya perlu pengkajian yang komprehenisf termasuk didalamnya pembenahan penggilingan padi kecil.
Sebagai salah satu langkah pembenahan hulu-hilir, Perempuan Tani HKTI mengimbau Komisi Pengawas Persaiangan Usaha (KPPU) untuk memastikan bahwa kepranataan tata niaga beras bersih dari tiga larangan yang diamanatkan oleh UU No. 5/1999 tentang Persaingan Usaha. Dalam situasi kritis, dan rawan tafsir hukum, kehadiran KPPU diharapkan mampu memastikan tiga hal: tidak ada perjanjian bisnis yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli; tidak adanya tindakan pelaku usaha (market conduct) yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat; dan memastikan tidak adanya praktik bisnis yang menyalahgunakan posisi dominan, yang mendorong terjadinya praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.
Dalam konteks bisnis, Perempuan Tani HKTI berharap pemerintah bisa memperkuat daya saing penggilingan kecil dengan cara: pertama, memberikan akses permodalan yang mudah dijangkau sehingga bisa penggilingan kecil bisa merevitalisasi peralatan, membuka akses pasar penggilingan padi kecil, dan juga menjadikan penggilingan kecil sebagai mitra Bulog; kedua, perlu kerja sama saling menguntungkan antara penggilingan beras besar dan penggilingan padi kecil. Skema kerja sama misalnya, penggilingan padi besar dapat membeli beras pecah kulit ke penggilingan padi kecil, sehingga mempercepat proses produksi atau penggilingan padi besar tidak perlu mencari gabah di petani, cukup penggilingan padi kecil yang mencari gabah; ketiga, HET beras medium sebaiknya dihapuskan dan hanya menetapkan harga tertinggi beras supaya penggilingan kecil tetap bisa beroperasi; dan keempat, harus ada sinergitas multi stakeholder, antara pemerintah, kelompok tani, penggilingan padi, BUMN/BUMD Pangan, dan Bulog.