Bisnis.com, JAKARTA — Rencana Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta menerapkan Electronic Road Pricing (ERP) atau jalan berbayar elektronik demi mengurangi kemacetan di ibu kota diprediksi akan berdampak luas dan makin membebani ekonomi masyarakat.
Pengamat Transportasi dan Tata Kota Universitas Trisakti Yayat Supriatna mengatakan bahwa dampak tersebut terutama akan dirasakan oleh warga Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek) yang bekerja dan beraktivitas tetap di Jakarta.
Apalagi dampak terberat akan sangat memperbesar pengeluaran warga Jakarta yang tidak diimbangi dengan penyesuaian pendapatan.
“Yang paling terdampak dari kebijakan ini adalah pengguna yang pendapatannya tetap. Misalnya, karyawan dengan pendapatan UMR. Mereka harus membayar saat melewati jalan yang sudah diterapkan kebijakan ERP, baik pengguna mobil maupun motor, ujarnya melalui keterangan resmi, Kamis (2/3/2023).
Menurut Yayat, kebijakan ERP diprediksi akan membuat biaya perjalanan bertambah 50 persen—70 persen. Apalagi tarif yang diusulkan oleh Pemprov DKI Jakarta di kisaran Rp5.000—Rp19.000 setiap kali melintas di ruas-ruas jalan yang telah ditentukan tersebut. Sementara, ketika menggunakan transportasi umum biayanya akan lebih mahal lagi.
“Biaya transportasi ini seharusnya 10 persen dari pendapatan. Saat ini, biaya transportasi kita rata-rata sudah mencapai 30 persen, bahkan ada yang lebih. Untuk mereka yang tinggal di pinggiran Jakarta beberapa kali harus pindah kendaraan saat menggunakan transportasi umum,” imbuhnya.
Kebijakan ERP ini, lanjut Yayat, akan berjalan efektif apabila didukung dengan integrasi sistem transportasi lainnya. Sebagai contoh, 25 ruas jalan yang akan diterapkan ERP, angkutan publiknya sudah memiliki kapasitas dalam menampung potensi pengguna mobil atau motor yang akan beralih ke angkutan tersebut.
Implikasi terbesar, jelasnya adalah dampak terhadap kegiatan ekonomi di jalur ERP karena tidak semua angkutan umum sudah maksimal melayani kawasan ERP.
"Kalau ingin menerapkan ERP, maka lokasi yang terbaik adalah pada koridor angkutan massal berbasis REL, seperti KRL, MRT, atau LRT dengan daya tampung penumpang yang banyak, dan jadwal perjalanan yang pasti,” tekannya
Menurut Yayat juga, ERP di koridor TransJakarta misalnya, masih perlu dimaksimalkan karena armada jumlahnya terbatas. Selain itu, headway Transjakarta atau waktu antara suatu titik perhentian bus juga tidak pasti seperti MRT yang konsisten sepuluh menit sekali. Kalau TransJakarta headway-nya lebih dari 20 menit atau lebih untuk koridor tertentu, ini akan merugikan penumpang.
"Untuk di jalan yang belum ada publik transportasinya itu memang agak sulit. Mengandalkan TransJakarta itu punya problem, karena waktu kedatangan TransJakarta lebih lama waktu tunggunya, halte-haltenya juga padat," katanya.
Oleh karena itu, lanjut Yayat, yang paling rasional adalah pembuat kebijakan harus memperhatikan antara sisi waktu dan biaya. Jika ERP tarifnya lebih murah, maka yang naik kendaraan pribadi akan tetap menggunakan kendaraan pribadinya. Tetapi jika tarifnya mahal dan tarif angkutan umumnya lebih murah dari ERP, maka orang akan cenderung menggunakan angkutan umum di Kawasan ERP.
Untuk itu, Yayat meminta agar pemerintah DKI Jakarta bisa mengkaji secara mendalam mengenai peraturan ERP tersebut sebelum nantinya benar-benar diterapkan di ibu kota.