Bisnis.com, JAKARTA — Institute for Essential Services Reform (IESR) melaporkan adopsi kendaraan listrik di Indonesia relatif rendah jika dibandingkan dengan total penjualan kendaraan konvensional yang terjual setiap tahunnya.
Direktur IESR Fabby Tumiwa mengatakan, rendahnya adopsi kendaraan listrik di dalam negeri itu disebabkan karena harga pembelian awal yang relatif tinggi.
Fabby meminta pemerintah untuk dapat memberikan insentif yang menarik guna mendukung peralihan kendaraan konvensional menuju kendaraan listrik saat ini.
“Penyebab rendahnya adopsi kendaraan listrik di Indonesia paling tidak pertama adalah harga pembelian awal yang sangat mahal,” kata Fabby dalam laporan Indonesia Electric Vehicle Outlook (IEVO) 2023 secara daring, Selasa (21/2/2023).
Selain harga beli yang tinggi, Fabby menuturkan, rendahnya adopsi kendaraan listrik juga disebabkan karena infrastruktur pengisian ulang baterai yang masih minim di Indonesia.
Berdasarkan catatan IESR, penjualan motor listrik sepanjang 2022 mencapai 25.782 unit atau tumbuh 369,9 persen dibandingkan penjualan pada 2021 di level 5.486 unit.
Baca Juga
Sementara itu, penjualan mobil listrik sepanjang 2022 sebesar 7.679 unit atau mengalami kenaikan 281,6 persen dari posisi penjualan tahun sebelumnya di angka 2.012 unit.
“Walaupun penjualannya terlihat meningkat tajam, pangsa pasar kendaraan listrik masih kurang dari 1 persen dari jumlah kendaraan yang terjual setiap tahunnya,” tutur Fabby.
Berdasarkan data Visual Capitalist yang dilansir Kamis, (1/12/2022), penjualan kendaraan listrik global pada 2011 hanya mencapai 55.414 unit. Angka tersebut melonjak dalam 10 tahun dengan pertumbuhan mendekati 7 juta unit pada 2021.
Adapun, dari tahun 2011 hingga 2015, penjualan kendaraan listrik (electric vehicle/EV) global tumbuh rata-rata 89 persen per tahun, dengan sekitar sepertiga penjualan global hanya terjadi di Amerika Serikat (AS). Pada 2014, AS menjadi pasar EV terbesar di dunia, diikuti oleh China, Belanda, Norwegia, dan Prancis.
Kemudian, disusul oleh penjualan mobil listrik di China yang mulai melonjak sejak 2015, dengan pertumbuhan sebesar 238 persen dibandingkan 2014. Hal itu membuat China berada di urutan teratas dalam penjualan mobil listrik pada saat itu.
Seperti diberitakan sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan memastikan insentif kendaraan listrik yang disiapkan pemerintah jauh lebih kompetitif jika dibandingkan dengan sejumlah negara di kawasan Asia Tenggara (Asean), seperti Thailand dan Vietnam.
Luhut mengatakan, pemerintah berencana untuk menyisipkan sejumlah insentif tambahan yang tidak ditawarkan Thailand untuk mendorong investasi serta penggunaan kendaraan listrik di dalam negeri mendatang.
“Pajak kita kurangi juga tapi tidak cukup dari 11 persen jadi 1 persen, itu masih kalah sama Thailand, jadi kita masih kasih insentif lain,” kata Luhut saat ditemui di Gedung Kementerian Menko Marves, Senin (20/2/2023).
Luhut berharap posisi insentif yang lebih kompetitif di kawasan Asean itu dapat membuka peluang ekspor kendaraan listrik ke pasar China mendatang. Dengan demikian, daya tawar Indonesia bakal jauh lebih kuat untuk investasi baterai hingga kendaraan listrik di kawasan Asean.
Nantinya, insentif itu akan langsung diberikan kepada industri atau pabrikan kendaraan listrik terkait yang berinvestasi di Indonesia.
Rencananya insentif itu diberikan berupa subsidi pembelian sepeda motor listrik sebesar Rp7 juta per unit dan konversi motor konvensional menjadi motor listrik di kisaran Rp5 juta per unit.
Di sisi lain, pemerintah juga berencana untuk memangkas pajak pertambahan nilai (PPN) 11 persen pembelian mobil listrik menjadi 1 persen.
“Kalau tidak melakukan ini kita nanti berhenti pada prekursor dengan katoda saja, jadi nanti tidak ada lithium baterai karena nggak ada mobil listrik,” tuturnya.