Bisnis.com, JAKARTA – Indonesia akan membutuhkan dana sekitar US$550 juta atau Rp8,3 triliun untuk menutupi pembengkakan biaya (cost overrun) Kereta Cepat Jakarta – Bandung (KCJB).
Wakil Menteri BUMN II, Kartika Wirjoatmodjo, mengatakan setelah menyepakati besaran cost overrun sebesar US$1,2 miliar, saat ini Indonesia tengah menegosiasikan persyaratan untuk pinjaman dari China Development Bank (CDB).
Tiko menyebutkan, Indonesia akan membutuhkan biaya dari pinjaman CDB sekitar US$550 juta atau sekitar Rp8,3 triliun dengan asumsi kurs Rp15.100 per dolar AS. Pihaknya menargetkan proses negosiasi bakal rampung dalam 1 hingga 2 minggu ke depan.
“Jadi porsi pinjaman dari CDB itu 75 persen. Dari sana dibagi lagi 60 persen dari kita dan 40 persen dari China,” kata Tiko saat ditemui seusai Rapat Kerja dengan Komisi VI DPR RI, Senin (13/2/2023).
Tiko melanjutkan, setelah proses negosiasi rampung, Kementerian BUMN, BPKP, dan Komite Kereta Cepat akan menentukan struktur final dan harga pinjaman tersebut. Nantinya, pinjaman tersebut akan masuk ke PT Kereta Api Indonesia (Persero) atau PT KAI dan diturunkan dalam bentuk ekuitas ke PT Kereta Cepat Indonesia China (KCIC) sebagai operator KCJB.
Selain dari pinjaman, pembiayaan cost overrun KCJB juga telah mendapatkan Penyertaan Modal Negara (PMN) pada tahun anggaran 2022 senilai Rp3,2 triliun.
Tiko menambahkan, sebelumnya Komite Kereta Cepat juga telah menyepakati pembagian porsi untuk pembengkakan biaya. Secara rinci 25 persen ditanggung oleh ekuitas milik perusahaan konsorsium Indonesia dan China, yakni PT Pilar Sinergi BUMN Indonesia (PSBI) dan China Railway International Co. Ltd. Sementara itu, 75 persen pembiayaan yang tersisa bersumber dari utang.
Tiko juga menargetkan KCJB dapat mulai beroperasi sesuai target yang ditetapkan sebelumnya, yakni pada Juli 2023 mendatang. Sementara itu, interkoneksi antara MRT dan LRT Jabodebek ditargetkan bertepatan dengan perayaan HUT Kemerdekaan RI, yaitu pada 17 Agustus 2023.
Sebelumnya, Staf Khusus Menteri BUMN, Arya Sinulingga, mengatakan perbedaan penghitungan cost overrun antara China dan Indonesia salah satunya disebabkan oleh kenaikan harga tanah. Dia menuturkan, pihak China dalam perhitungannya menggunakan asumsi bahwa harga tanah di Indonesia tidak bergerak.
“Harga tanah di Indonesia 3 bulan saja sudah bisa naik dan kita tidak bisa mengunci harga tanah,” kata Arya dalam Jumpa Pers di Kantor Kementerian BUMN, Jakarta, Jumat (3/2/2023).
Selain itu, perbedaan asumsi cost overrun antara Indonesia dengan pihak China juga terjadi pada biaya frekuensi atau persinyalan. Arya memaparkan pengelolaan persinyalan oleh Telkomsel tetap berupa kontrak bisnis meskipun perusahaan yang mendapatkannya adalah BUMN.
Seiring dengan hal tersebut, maka Telkomsel turut menanggung biaya pengalihan pengelolaan. Sehingga, perhitungan kompensasi pengalihan Telkomsel dimasukkan dalam perhitungan pada pihak Indonesia.
“Ketika dia ditanya–tanya soal harga, Telkomsel itu tidak mencari untung. Mereka cuma mengkompensasi,” ungkapnya.