Bisnis.com, JAKARTA — Defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2023 diperkirakan dapat melebar hingga 3,09 persen atau melampaui batas yang ditetapkan di level 2,84 persen apabila kuota bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi, seperti Solar dan Pertalite jebol seperti tahun lalu.
Berdasarkan simulasi yang dibuat Institute for Development of Economics and Finance (Indef), kuota Pertalite dan Solar yang masing-masing mengalami kelebihan konsumsi di posisi 27,8 persen dan 12,8 persen akan membuat alokasi subsidi ditambah hingga Rp51,9 triliun.
Asumsinya, rerata harga minyak mentah Indonesia atau Indonesian Crude Price (ICP) tetap sama dengan ketetapan APBN 2023 di level US$90 per barel, sementara nilai tukar rupiah terhadap dolar AS stagnan Rp14.800.
“Kalau kuotanya bertambah seperti tahun lalu ini berisiko untuk menambah subsidi dan kompensasi sebesar Rp51,9 triliun,” kata Kepala Pusat Pangan, Energi dan Pembangunan Berkelanjutan Indef Abra Talattov saat diskusi daring, Selasa (14/2/2023).
Pada simulasi yang lebih konservatif dengan posisi over kuota BBM dan LPG bersubsidi di level masing-masing 10 persen dan 12,5 persen, posisi defisit APBN terhadap produk domestik bruto (PDB) berada di kisaran 2,84 persen dan 2,97 persen.
Untuk skenario over kuota BBM dan LPG bersubsidi di level 10 persen, pemerintah mesti menambahkan alokasi subsidi hingga Rp27 triliun. Sementara itu, untuk simulasi kelebihan konsumsi hingga 12,5 persen, tambahan subsidi dan kompensasi yang mesti disiapkan di angka Rp33,7 triliun.
Baca Juga
“Ini menjadi alarm kita bersama meskipun ICP dan kurs masih sesuai dengan APBN tetapi terjadi lonjakan kuota ini belum tentu APBN kita bisa meredam,” kata Abra.
Sebelumnya, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) khawatir mandeknya pembahasan revisi Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 191 Tahun 2014 tentang Penyediaan, Pendistribusian dan Harga Jual Eceran BBM bakal membuat konsumsi bahan bakar minyak (BBM) subsidi kembali luber tahun ini.
Adapun, usulan revisi Perpres yang mengatur tata niaga BBM itu sudah diajukan sejak pertengahan tahun lalu. Namun, hingga hari ini, Selasa (14/2/2023), Kementerian ESDM belum kunjung mendapat persetujuan izin prakarsa dari Kementerian Sekretariat Negara (Kemensetneg).
“Jika tidak dilakukan revisi Perpres 191 Tahun 2014 akan berpotensi terjadinya overkuota JBT [jenis BBM tertentu] Solar dan JBKP [jenis BBM khusus penugasan] Pertalite,” kata Tutuka saat rapat dengar pendapat (RDP) dengan Komisi VII DPR RI, Selasa (14/2/2023).
Menurut Tutuka, pertumbuhan konsumsi dua BBM bersubsidi itu relatif tinggi di kisaran 5 persen hingga 10 persen jika dibandingkan dengan realisasi tahun lalu.
Berdasarkan catatan Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) hingga 12 Februari 2023, realisasi penyaluran JBT Solar sudah mencapai 1,71 juta kiloliter (kl) atau sekitar 10 persen dari total kuota yang diberikan tahun ini sebesar 17,50 juta kl.
Sementara itu, realisasi penyaluran JBKP Pertalite sudah mencapai 3,44 juta kl atau 11 persen dari keseluruhan kuota tahun ini yang ditetapkan di level 32,56 juta kl.
“Potensi over kuota kan ya yang kita lihat jadi pertumbuhan pemakaian, kita bicara dari bulan ke bulan naiknya berapa konsumsi,” kata Tutuka.