Bisnis.com, JAKARTA - Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan RI merespons terkait progres revisi Peraturan Menteri Keuangan (PMK) mengenai penyesuaian harga rumah subsidi.
Sebelumnya, Persatuan Perusahaan Real Estat Indonesia (REI) mengatakan telah mendapat komitmen dari BKF untuk menerbitkan kebijakan terbaru itu pada Februari 2023.
Namun, saat dikonfirmasi Bisnis, Plt. Kepala Pusat Kebijakan Pendapatan Negara (PKPN), Pande Putu Oka Kusumawardani, belum dapat memastikan waktu pasti penerbitan PMK tersebut.
"Revisi PMK mengenai PPN dibebaskan atas penyerahan rumah tapak dan rumah susun pada saat ini masih dalam proses pembahasan substansi oleh Kementerian Keuangan bersama dengan K/L terkait, khususnya Kementerian PUPR," kata Oka kepada Bisnis, Rabu (8/2/2023).
Sebagaimana diketahui, selama 3 tahun terakhir, pengembang rumah subsidi terus menanti penyesuaian harga rumah subsidi yang tak kunjung selaras dengan kenaikan harga bahan bangunan serta kenaikan harga BBM.
Batasan harga rumah subsidi yang saat ini berlaku mengacu pada Keputusan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (Kepmen PUPR) No. 242/KPTS/M/2020 pada Maret 2020. Batasan harga rumah subsidi di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi (Jabodetabek) yakni Rp168 juta.
Sementara, untuk dapat mengeluarkan keputusan harga rumah baru, Kementerian PUPR masih menunggu terbitnya Peraturan Menteri Keuangan (PMK) yang mengatur besaran kenaikan harga rumah subsidi, khususnya terkait pembebasan biaya Pajak Pertambahan Nilai (PPN).
Diberitakan sebelumnya, Wakil Ketua Umum REI, Hari Ganie, mengaku telah bertemu dengan BKF pada Kamis (2/2/2023) lalu untuk membahas kepastian terkait penyesuaian harga rumah subsidi. Menurut Hari, kemungkinan kenaikan harga rumah subsidi sebesar 5 persen, turun dari usulan pengembang yakni 7 persen.
"Jadi intinya akan segera diterbitkan harga barunya, cuma kenaikannya kelihatannya tidak seperti yang dulu kami perkirakan, kan katanya akan naik 7 persen dulu, tapi kelihatannya ini naiknya sekitar 5 persen," ujarnya.
Bahkan, sebelum itu para pengembang mengusulkan kenaikan 13 persen. Namun, untuk mengambil jalan tengah bersama Kementerian PUPR maka diputuskan usulan kenaikan sebesar 7 persen pada awal 2022.
"Kemungkinan karena keterbatasan anggaran ya pemerintah dan pertimbangan lain mungkin ya, dari BKF sih sesegera mungkin katanya mereka nggak bisa kasih waktu tepatnya," ujar Hari.
Lebih lanjut, Hari menilai penyesuaian harga rumah subsidi ini merupakan urgensi yang mesti dipenuhi. Pasalnya, hal ini berkaitan dengan kemampuan pengembang untuk memproduksi rumah subsidi bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR).
Dia pun tidak ingin pengembang rumah subsidi akhirnya mengurangi kualitas karena ongkos produksi yang terlampau mahal dan tak dapat memberikan margin profit yang bagus.
"Itu sebenarnya kan itu tidak kita harapkan [penurunan kualitas], banyak pengembang-pengembang kalau saya keliling mereka selama ini memilih tidak bangun rumah MBR dulu karena tak ingin rugi," ujarnya.
Namun, sebagian pengembang lainnya terpaksa menjual dengan harga rumah subsidi saat ini demi memenuhi kewajiban untuk membayar karyawan dan kewajiban terhadap perbankan.