Bisnis.com, JAKARTA — Pemerintah belum menentukan sikap yang jelas terkait nasib perusahaan tambang yang belum menyelesaikan pembangunan smelter menyusul rencana pelarangan ekspor tembaga mentah tahun ini.
Undang-Undang No. 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara (UU Minerba) telah mengamanatkan agar perusahaan tambang tidak lagi melakukan ekspor bahan mentah dan mewajibkan pembangunan smelter di dalam negeri paling lambat 2023.
Salah satu perusahaan yang tengah mengerjakan pembangunan smelter konsentrat tembaga adalah PT Freeport Indonesia (PTFI). Selain mengacu UU Minerba, kontrak Freeport yang berbentuk Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) juga nemberikan tenggat waktu penyelesaian smelter hingga Desember 2023.
Namun, menurut Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian ESDM Ridwan Djamaluddin, Freeport telah bersurat kepada Kementerian ESDM bahwa mereka tidak bisa merampungkan pembangunan smelter sesuai jadwal yang disepakati.
"Setahu saya tidak ada kompensasi minta relaksasi ekspor sampai kapan. Bahasa umumnya tidak bisa menyelesaikan pada Desember 2023," ujar Ridwan di DPR, Jakarta, Rabu (1/2/2023).
Terkait hal ini, Ridwan menuturkan kementeriannya masih menunggu arahan lebih lanjut dari Presiden Joko Widodo atau Jokowi ihwal kelanjutan keputusan moratorium ekspor tembaga tersebut.
Baca Juga
“Perhitungan-perhitungan ada, regulasi ada, yang belum dapat itu arahan langsung ke depan kita mau gimana, apa saja yang mau kita lakukan terhadap kondisi sekarang ini,” kata dia.
Sementera itu, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan juga tak memberikan jawaban tegas ketika ditanya ihwal kemungkinan relaksasi moratorium ekspor tembaga tahun ini seiring belum selesainya pembangunan smelter.
“Kita lihat nanti,” kata Luhut saat ditemui Bisnis selepas acara Mandiri Investment Forum 2023 (MIF) di Hotel Fairmont, Jakarta, Rabu (1/2/2023).
Belakangan pemerintah sedang mencari titik tengah terkait dengan persoalan moratorium ekspor tembaga tersebut. Kondisi kemajuan smelter yang masih 50 persen dianggap belum siap untuk segera dilakukan penghentian ekspor pada pertengahan tahun nanti.
Niat itu pertama kali muncul dari Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia selepas bertemu dengan Presiden Joko Widodo atau Jokowi di Istana Negara, Jakarta, Senin (30/1/2023).
Saat itu, Bahlil berdalih kemajuan pengembangan smelter dari Freeport dan PT Amman Mineral Nusa Tenggara (AMNT) baru berada di kisaran 50 persen. Kendati demikian, Bahlil menegaskan kebijakan hilirisasi tembaga dalam negeri mesti konsisten dilakukan sebagai amanat dari undang-undang.
“Tembaga bentar lagi kan bulan Juni setop secara undang-undang kita lagi cari formulasinya bagaimana smelter-smelter yang belum selesai contoh di NTB dan Freeport ini kita sedang cari formulasinya,” kata dia.
Sementara itu, Freeport memastikan pengerjaan pabrik pengolahan dan pemurnian atau smelter konsentrat tembaga di Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) JIIPE, Gresik, Jawa Timur sudah mencapai 51,7 persen pada awal tahun ini.
Presiden Direktur PTFI Tony Wenas mengatakan, kemajuan pengerjaan smelter berkapasitas 1,7 juta dry metric ton (dmt) itu sudah sesuai dengan lini masa yang ditenggat akhir 2023 ini.
“Sampai sekarang on the track, progres sudah 51,7 persen, sampai akhir 2023 itu sudah 100 persen konstruksi fisik selesai,” kata Tony saat berkunjung ke Wisma Bisnis Indonesia, Jakarta, Rabu (1/2/2023).
Nantinya, kata Tony, operasi komersial atau commercial operation date (COD) dari smelter ekspansi itu dapat efektif pada Mei 2024 mendatang.
Menurut dia, butuh waktu sekitar 5 bulan setelah penyelesaian konstruksi fisik smelter untuk dapat beroperasi secara komersial.
“Ini pabrik atau peleburan smelter tembaga single line terbesar di dunia, commissioning nggak hanya bisa 1 bulan,” tuturnya.
Lewat pengerjaan smelter tersebut, dia mengatakan, PTFI siap untuk ikut berpartisipasi pada upaya hilirisasi tembaga mendatang.