Bisnis.com, JAKARTA — Presiden Joko Widodo atau Jokowi mengaku geram lantaran kinerja ekspor aluminium serta pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) domestik berada di urutan masing masing ke-33 dan 31 dunia. Malahan sebagian besar bahan mentah pembentuk dua produk itu dijual ke China.
Di sisi lain, Jokowi menyayangkan, justru ekspor bijih bauksit domestik berada di posisi 3 dunia. Artinya, sebagian besar bahan mentah itu belum terhilirisasi dengan optimal di dalam negeri.
“Indonesia ini ekspor bahan mentah bauksit nomor 3 di dunia, tetapi ekspor aluminium kita nomor 33, mentahannya nomor 3 kok barang setengah jadi, barang jadinya 33,” kata Jokowi saat membuka Mandiri Investment Forum, Jakarta, Rabu (1/2/2023).
Apalagi, Jokowi menambahkan, potensi nilai tambah yang bisa diambil Indonesia lewat industrialisasi panel surya dapat mencapai 194 kali dari nilai ekspor bahan mentah.
"Kalau ini kita kerjakan panel surya itu nilai tambahnya sampai 194 kali, perkaliannya coba nikel sudah 33 kali, yang ini 194 kali," tuturnya.
Kondisi itu, kata dia, membuat larangan ekspor bijih bauksit menjadi krusial untuk dilakukan pada Juni 2023 mendatang. Dia ingin agar proses industrialisasi dari turunan bauksit itu dapat dilakukan di dalam negeri.
Baca Juga
Kendati demikian, dia mengakui, proses industrialisasi mineral itu relatif sulit dilakukan ketimbang ekspor barang mentah. Hanya saja, menurut dia, moratorium ekspor bijih bauksit itu mesti diambil untuk meningkatkan nilai tambah di industri domestik.
“China ekspor orenya nomor 18 tetapi ekspor panel suryanya nomor 1 di dunia, terus barangnya ini dari mana, bahan mentahnya dari mana ini? 80 persen dari kita,” kata dia.
Sebelumnya, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) melaporkan kapasitas serap bijih bauksit dari empat smelter hingga awal tahun ini berada di angka 13,88 juta ton. Sementara, kapasitas produksi alumina diproyeksikan bisa menyentuh di kisaran 4,3 juta ton.
Kapasitas pengolahan bijih bauksit itu terbilang sempit jika dibandingkan dengan torehan produksi bijih di sisi hulu industri setiap tahunnya. Apalagi, pemerintah menegaskan bakal mulai menghentikan izin ekspor mineral pada Juni 2022.
“Targetnya harus bisa diselesaikan tahun ini bulan Juli, setelah itu tidak diperkenankan ekspor lagi, ekspor dalam kondisi belum terproses,” kata Menteri ESDM Arifin Tasrif saat konferensi pers di Kementerian ESDM, Jakarta, Senin (30/1/2023).
Berdasarkan rekapitulasi Kementerian ESDM pada 2020 lalu, produksi bijih bauksit di Indonesia sempat mencapai 26,3 juta ton. Hasil produksi itu diekspor sebanyak 22,8 juta ton sementara sisanya dialokasikan untuk pasokan industri pengolahan alumina domestik sebesar 1,74 juta ton.
Adapun, produksi alumina di Indonesia pada saat itu berada di angka 1,17 juta ton. Alumina keluaran smelter grade alumina (SGA) diekspor sebesar 0,99 juta ton dan chemical grade alumina (CGA) diekspor sebesar 52.000 ton.
SGA yang dialokasikan untuk kebutuhan dalam negeri sebanyak 150.000 ton untuk pemurnian aluminium dan CGA dialihkan untuk industri seperti kertas, detergen, kabel sebesar 25.000 ton.
Sementara, produksi aluminium di Indonesia setiap tahunnya mencapai 250.000 ton yang memerlukan impor alumina SGA sebesar 350.000 ton.
Di sisi lain, kebutuhan aluminium domestik mencapai 1 juta ton. Dengan demikian, setiap tahunnya dilakukan impor aluminium sebesar 748.000 ton untuk menutupi defisit bahan baku tersebut.
Kita masih impor aluminium, untuk itu memang penyelesaian pembangunan smelting untuk proses aluminium itu bisa diselesaikan sehingga bisa menyerap kapasitas input 100 persen,” kata Arifin.