Bisnis.com, JAKARTA — Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) meminta PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) atau PLN untuk tak lagi menggunakan skema take or pay (ToP) dalam perjanjian jual beli listrik (PJBL) dengan pengembang listrik swasta atau independent power producer (IPP) ke depan.
Sekretaris Jenderal Kementerian ESDM Rida Mulyana mengatakan, langkah itu diambil lantaran beban pembelian listrik dari IPP relatif besar saat ini. Malahan, kata Rida, beban itu berpotensi untuk meningkat seiring dengan kontrak-kontrak dari program 35.000 megawatt (MW) yang mulai komersial tahun ini.
“Kita sangat menghormati kontrak yang ada, tetapi karena ini menyangkut kepentingan nasional tentu saja kita imbau untuk pelaku penandatanganan kontrak ke depan jangan lagi ToP, kita juga sudah berlebih,” kata Rida saat konferensi pers di Kementerian ESDM, Jakarta, dikutip Selasa (31/1/2023).
Dia menuturkan, skema take or pay dulu diberlakukan untuk memacu pembangunan pembangkit listrik oleh swasta karena Indonesia masih kekurangan listrik. Namun, dengan kondisi listrik PLN yang saat ini sudah berlebih, pemerintah akan mendorong penerapan skema kontrak take and pay ke depan.
“Ke depannya kita beli bayar untuk yang kita pakai saja, ke depannya akan ke arah sana jadi pure bisnis seperti itu supply demand di pasar saja,” kata dia.
Sebelumnya, PLN melaporkan beban pembelian listrik dari pembangkit swasta hingga triwulan III/2022 berada di angka Rp94,22 triliun. Beban pembelian listrik itu mengalami kenaikan signifikan 22,58 persen jika dibandingkan dengan pembelian listrik pada periode yang sama 2021 di posisi Rp76,86 triliun.
Baca Juga
Hanya saja, pertumbuhan pembelian tenaga listrik itu tidak ikut diimbangi dengan penjualan listrik yang relatif bergerak moderat pada periode yang sama.
PLN mencatatkan penjualan listrik sebesar Rp231,04 triliun sepanjang Januari hingga September 2022 atau hanya naik 8,57 persen jika dibandingkan dengan pencatatan pada periode yang sama tahun sebelumnya di angka Rp212,8 triliun.
Sementara itu, Institute for Essential Services Reform (IESR) mendorong pemerintah untuk meninjau ulang klausul yang tertuang pada PJBL antara PLN dengan IPP.
Direktur IESR Fabby Tumiwa menilai PJBL yang telah mengikat PLN selama ini cenderung memberatkan arus kas serta operasional perusahaan setrum pelat merah tersebut.
Apalagi, kata Fabby, PLN terikat kewajiban pembelian minimal 70 hingga 80 persen produksi listrik swasta, yang biasa disebut dengan skema take or pay.
“Kan tidak wajar, operasional PLTU satu tahun tidak bisa sampai 80 persen, full kok capacity factor yang dipakai, harusnya risikonya berapa yang minim, kalau 60 persen wajar,” kata Fabby saat dihubungi, Minggu (15/1/2023).
Menurut Fabby, pemerintah bersama pemangku kepentingan terkait mesti melakukan penyelidikan khusus ihwal kontrak PJBL tersebut. Dia berharap penyelidikan itu dapat memperbaiki skema ToP serta klausul PJBL lainnya yang selama ini memberatkan PLN.
“Kalau sekarang kan susah PLN tidak punya amunisi karena direksi sekarang tidak bertanggung jawab terhadap kontrak-kontrak itu,” kata dia.