Bisnis.com, JAKARTA — Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menargetkan produksi batu bara nasional mencapai 695 juta ton pada tahun ini. Target itu menjadi rencana produksi tertinggi di dalam sejarah tambang batu bara dalam negeri beberapa dekade terakhir.
Target produksi 2023 itu naik 4,82 persen dibandingkan target tahun lalu yang dipatok di angka 663 juta ton. Adapun, realisasi produksi batu bara sepanjang tahun lalu tembus 687 juta ton atau mencapai 104 persen dari target 2022.
“Tahun ini target produksi mencapai 695 juta ton dan kebutuhan dalam negeri 177 juta ton,” kata Menteri ESDM Arifin Tasfrif saat Konferensi Pers Capaian Kinerja Sektor ESDM 2022 dan Program Kerja 2023 di Kementerian ESDM, Jakarta, Senin (30/1/2023).
Sementara itu, kuota ekspor yang diberikan tahun ini mencapai 518 juta ton. Kuota penjualan ke luar negeri batu bara itu naik 4,2 persen dari alokasi yang ditetapkan tahun lalu di level 497 juta ton.
Arifin menilai kenaikan kuota ekspor itu dilakukan untuk mengimbangi proyeksi permintaan batu bara yang dipastikan tetap tinggi tahun ini.
Apalagi, proyeksi harga komoditas emas hitam itu dipastikan tetap menguat seiring dengan tensi politik dan pasokan global yang masih belum stabil saat ini.
Baca Juga
“Harga batu bara masih akan cukup baik perkiraan kita di 2023 disebabkan masalah balance energi global yang memang masih membutuhkan support batu bara,” kata dia.
Seperti diketahui sepanjang 2022, torehan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) dari sektor energi dan sumber daya mineral mencapai Rp351 triliun atau naik 138 persen dari target yang ditetapkan saat itu di level Rp254 triliun.
Adapun, sektor mineral dan batu bara menopang peningkatan setoran sektor ESDM dengan porsi mayoritas mencapai Rp183,4 triliun yang diikuti penerimaan sektor migas di posisi Rp148,7 triliun.
Di sisi lain, sebagian besar eksportir batu bara merasa waswas dengan rencana Australia yang ingin menerapkan kebijakan wajib pasok pasar domestik atau domestic market obligation (DMO) batu bara antara 7 persen hingga 10 persen tahun ini.
Kebijakan itu dinilai bakal ikut memperkuat indeks harga batu bara Australia yang pada gilirannya memperlebar tarif royalti yang mesti dibayar perusahaan di dalam negeri yang mayoritas berpatok pada harga indeks batu bara Indonesia atau Indonesia Coal Index (ICI).
“Semenjak formula harga batu bara acuan [HBA] belum direvisi tentu akan berdampak pada eksportir kita karena kita terbebani oleh disparitas HBA yang jauh lebih tinggi dari harga jual kita,” kata Direktur Eksekutif APBI Hendra Sinadia saat dihubungi, Jumat (20/1/2023).
Seperti diketahui, HBA diperoleh dari rata-rata indeks Indonesia Coal Index (ICI), Newcastle Export Index (NEX), Globalcoal Newcastle Index (GCNC), dan Platt's 5900 pada bulan sebelumnya, dengan kualitas yang disetarakan pada kalori 6322 kcal/kg GAR, Total Moisture 8 persen, Total Sulphur 0,8 persen, dan Ash 15 persen.
Adapun, NEX dan GCNC adalah indeks yang digunakan untuk memperhitungkan harga batu bara asal Australia yang relatif lebih mahal dengan kalori tinggi, aementara eksportir Indonesia mayoritas menggunakan ICI dan Platt’s untuk penjualan komoditas mereka dengan harga dan kalori yang lebih rendah.
Apalagi untuk perhitungan HBA Januari 2023 lebih banyak dikerek oleh kenaikan index bulanan GCNC sebesar 16,23 persen dan NEX sebesar 17,88 persen. Di sisi lain, Index Platts dan ICI masing-masing turun sebesar 8,81 persen dan 3,25 persen. Seperti diketahui, HBA awal tahun ini masih berada di level tinggi US$305,21 per ton atau naik 8,43 persen dari posisi Desember 2022 lalu di level US$281,48 per ton.
“Ketika HBA US$305,21 per ton itu jadi patokan tarif royalti, tetapi kita jualnya menggunakan ICI kita terima US$200 per ton ini sudah beda yang disebut decoupling, kita terima duit US$200 per ton tapi bayar royalti berdasarkan US$305,21 per ton,” kata dia.
Konsekuensinya, kata dia, kebijakan tarif royalti yang diterapkan sekarang maksimal 13,5 persen dari harga jual per ton secara progresif bagi perusahaan pemegang izin usaha pertambangan (IUP) sudah melebihi ambang batas di dalam praktiknya.
“Kalau saya hitung-hitung saya bisa bayar 20 persen jadinya karena saya bayarnya berdasarkan US$305,21 per ton tadi, itu yang mendesak buat kita. Kalau HBA belum direvisi kita akan terbebani karena kita bayarnya lebih tinggi,” kata dia.