Bisnis.com, JAKARTA - Asosiasi Petani Karet Indonesia (Apkarindo) menyebutkan bahwa saat ini diperkirakan 50 persen petani karet Kalimantan Barat beralih menjadi buruh tani sawit. Peralihan tersebut disebabkan harga karet yang 3 tahun terakhir terus-menerus stagnan, bahkan anjlok.
Ketua Umum Apkarindo Kalimantan Barat Marselus Uthan mengatakan, harga karet saat ini tidak pernah beranjak dari Rp9.000 per kilogram (kg). Bahkan, kata dia, biasanya harga karet hanya Rp7.000-Rp8.000 per kg.
Uthan membeberkan, meski saat ini produksi karet menurun, tetapi harga karet tetap stagnan.
“Dulu harga karet sama dengan beras. Sekarang beras sudah Rp12.000 tapi karet paling tinggi Rp9.000. Selain itu, biasanya dengan hasilnya sedikit, pabrik biasanya naikkan harga. Tapi karena buyer-nya luar negeri juga membeli dengan rendah, makanya menurun harganya,” ujar Uthan kepada Bisnis, Rabu (18/1/2023).
Dia mengatakan, menurunnya produktivitas petani karet disebabkan tingginya curah hujan dalam beberapa tahun terakhir. Kondisi itu berdampak terhadap waktu menoreh petani karet lebih sedikit. Alhasil, banyak sekali pabrik karet mengalami kesulitan memperoleh bahan baku karet. Kendati begitu, harga karet tetap saja rendah.
“[Namun] Saya melihat harga juga sama meski musim hujan. Dulu kan naik kalau musim hujan. Sekarang tidak naik naik. Makanya prihatin melihat petani, pohon karet pun tidak terawat dengan baik akhirnya,” ungkapnya.
Baca Juga
Uthan mengatakan, petani karet saat ini penghasilannya tidak lebih Rp1 juta per bulan. Akibatnya, alih fungsi lahan karet pun tidak bisa terhindarkan. Umumnya petani beralih ke sektor sawit karena harga sawit dianggap relatif lebih stabil harganya. Penurunan buah sawit atau tandan buah segar (TBS) hanya ketika kelangkaan minyak goreng beberapa waktu lalu.
“Karena ada pemerintah lokal terus membahas harga sawit makanya tidak terlalu anjlok kecuali pas ada masalah kelangkaan minyak sawit itu,” ucapnya.
Meski begitu, Uthan menjelaskan konversi ke sawit juga tidak menyelesaikan masalah kesejahteraan petani. Pasalnya, saat lahannya mulai beralih ke sawit dan membangun kemitraan dengan perusahaan sawit, petani kerap tidak memperoleh haknya dengan adil.
“Sekarang petani-petani yang masuk jadi anggota lewat koperasi perusahaan pembagiannya tidak juga sesuai UU Perkebunan. Misalnya, menyerahkan 10 hektar, ada pembagian 7:3. Tapi kenyataannya tidak. Padahal, dengan menoreh 5 hari saja, 7-10 kg bisa lebih dari pembagian hasil dari sawit itu. Yang sangat menyedihkan mereka dulu menjadi petani berdiri sendiri, sekarang kuli di atas tanah sendiri,” ungkap Uthan.
Dia pun berharap, pemerintah membuat program yang jelas untuk menanggulangi masalah kesejahteraan petani karet. Salah satunya, dia meminta agar program aspal karet segera terealisasi supaya karet petani bisa terserap lebih maksimal.
“Dulu ada gembar-gembor, karet ini untuk aspal, katanya sudah ada uji coba. Tapi menurut mereka bagus tapi kok belum juga bisa menampung karet petani yang secara baik oleh Pemerintah Jokowi. Implementasinya tidak jelas,” ungkapnya.
Melansir Tradingeconomics pada Rabu (18/1/2023), saat ini harga karet dunia anjlok 20,65 persen dibanding tahun lalu menjadi US$143,20 cent per kg. Sementara menurut catatan BPS pada HS 40, yaitu karet dan barang dari karet ekspornya anjlok dibanding pada 2021 menjadi sebesar US$0,72 miliar atau turun sebesar 10,13 persen. Jika dilihat secara volume, penurunannya sebesar 11,60 persen.