Bisnis.com, JAKARTA - Pertemuan tahunan World Economic Forum atau WEF dimulai di Davos pada Senin (16/1/2023) dengan peringatan dari para pimpinan eksekutif perusahaan dan ekonom terhadap kemungkinan terjadinya resesi global tahun ini.
Dilansir dari Bloomberg pada Selada (17/1/2023), dari 4.410 CEO yang disurvei oleh PricewaterhouseCoopers LLP pada bulan Oktober dan November tahun lalu, 73 persen di antaranya memperkirakan pertumbuhan global akan menurun selama 12 bulan mendatang.
Angka tersebut merupakan yang terburuk sejak perusahaan konsultan ini mulai melakukan jajak pendapat pada tahun 2011. Dua dari lima bahkan menyatakan kekhawatiran perusahaan mereka mungkin tidak akan bertahan dalam satu dekade ke depan.
Survei terpisah terhadap para kepala ekonom yang dirilis oleh WEF mencatat bahwa dua pertiga ekonom memperkirakan resesi di seluruh dunia pada tahun 2023 karena bisnis memangkas biaya. Bahkan, 18 persen di antaranya memperkirakan resesi sangat mungkin terjadi.
Kekhawatiran tersebut kemungkinan akan semakin banyak diungkapkan saat 2.700 eksekutif, bankir, dan ekonom bertemu di Davos untuk pertama kalinya pada sejak 2020.
Meskipun data ekonom terbaru menunjukkan harapan bahwa ekonomi masih dapat mencapai soft landing, lonjakan inflasi tahun lalu dan kenaikan suku bunga bank sentral membuat banyak orang bersiap-siap terhadap kontraksi ekonomi.
Baca Juga
Chairman global PWC Bob Moritz mengatakan tingkat kekhawatiran dalam jajak pendapat perusahaannya mungkin terlalu dilebih-lebihkan.
Ekspektasi resesi masuk ke dalam prediksi karena karena orang telah melihatnya sejak jauh-jauh hari. Dibandingkan dengan krisis keuangan pada tahun 2008, para bos lebih khawatir terhadap perekonomian saat ini tetapi lebih yakin bahwa perusahaan mereka akan berhasil melewatinya.
Meskipun demikian, keyakinan para pemimpin bisnis terhadap prospek pertumbuhan perusahaan mereka sendiri turun paling banyak sejak krisis 2008.
Beradaptasi atau Mati
Survei menunjukkan tiga risiko besar tahun ini adalah inflasi, volatilitas makroekonomi, dan konflik geopolitik, demikian temuan survei tersebut.
Moritz dari PWC mengatakan bahwa kejutan utama adalah prospek jangka panjang, dengan 40 persen eksekutif yakin bisnis mereka tidak akan layak secara ekonomi dalam 10 tahun ke depan jika mereka tidak bertransformasi.
"Dalam jangka pendek, ini adalah mengenai tentang bagaimana mengelola tekanan biaya dan jangka panjang adalah tentang rantai pasokan, iklim, gangguan teknologi,” ungkapnya.
Dia melanjutkan para pimpinan perusahaan perlu mengambil tindakan saat ini untuk bertahan dalam dua tahun ke depan dan berkembang dalam 10 tahun ke depan, sambil memastikan bahwa mereka memiliki modal untuk dikerahkan.
Tahun lalu, para kepala eksekutif khawatir tentang ancaman dunia maya, kesehatan, dan iklim. Moritz mengatakan krisis iklim tetap menjadi masalah yang mendesak.
"Saya tidak khawatir hal keluar dari daftar (kekhawatiran). Semuanya relatif, 60 persen hingga 70 persen eksekutif sudah mengambil tindakan," tuturnya.
Sementara itu, Moritz mengatakan ancaman geopolitik tidak hanya terbatas pada Rusia dan China. "Jika Rusia-Ukraina bisa terjadi, apa lagi (yang akan terjadi berikutnya)? Bagaimana dengan Timur Tengah dan peran Iran? Bahkan Undang-Undang Pengurangan Inflasi (IRA) di AS juga berisiko," ungkapnya.
Hal ini karena subsidi ratusan miliaran dolar dalam IRA untuk proyek energi bersih menyebabkan ketegangan geopolitik di Eropa.