Bisnis.com, JAKARTA — PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) atau PLN masih menantikan pelaksanaan komitmen pasokan kepada pabrik pengolahan dan pemurnian atau smelter mineral untuk ikut membenahi kondisi kelebihan pasokan listrik yang terlanjur lebar saat ini.
Momentum moratorium ekspor bijih mineral pertengahan tahun ini dianggap dapat mengerek investasi dan pembangunan smelter yang masif untuk dua tahun mendatang. PLN melihat program itu sebagai kesempatan untuk menyalurkan kelebihan pasokan daya mereka.
“Untuk tahun ini dampak smelter belum terlalu terlihat, karena kebanyakan masih dalam konstruksi, sebagian besar akan masuk tahun 2024 sampai 2025," kata EVP Perencanaan Sistem Ketenagalistrikan PLN Warsono kepada Bisnis, Kamis (12/1/2022).
Warsono mengatakan, perseroannya belum mendapatkan gambaran yang jelas ihwal potensi permintaan listrik dari industri pengolahan mineral tersebut tahun ini.
Kendati demikian, dia mengatakan PLN sudah mulai menyalurkan listrik kepada sejumlah smelter yang mulai beroperasi tahun ini.
Misalkan, pada pertengahan tahun lalu, PLN sempat menandatangani enam nota kesepahaman atau memorandum of understanding (MoU) untuk penyaluran listrik sebanyak 3.168 mega volt ampere (MVA).
Baca Juga
Keenam perusahaan tersebut antara lain PT Sarana Mineralindo Perkasa sebesar 90 MVA, PT Gorontalo Mineral sebesar 100 MVA, PT Kawasan Industri Mongondow sebesar 1.000 MVA, Huayou International Mining (Hongkong) Ltd sebesar 1.743 MVA, PT Indo Nickel Industry sebesar 85 MVA, dan PT Antam (Persero) UBPN Sultra sebesar 150 MVA.
“Belum ada informasi yang fixed sementara, yang pasti, kami sudah melayani Smelter Huadi di Bantaeng, Sulawesi Selatan, dengan kapasitas 280 MVA dan rencana akan terus bertambah,” kata dia.
Laporan Tahunan PLN untuk periode 2021 menunjukkan kapasitas terpasang pembangkit listrik PLN yang berasal dari pembangkit sendiri, independent power plant (IPP) dan sewa mencapai sebesar 44.464,74 megawatt (MW).
Kapasitas terpasang itu mengalami peningkatan sebesar 289,95 MW jika dibandingkan dengan posisi 2020 di angka 44.174,80 MW. Sementara kapasitas itu berpotensi terus meningkat signifikan seiring dengan megaproyek 35.000 MW yang masih berjalan hingga 2028 mendatang.
Sementara itu, tingkat konsumsi masyarakat tidak banyak bergeser yang tercermin dari penjualan listrik PLN di angka 257.634,25 gigawatt hours (Gwh) sepanjang 2021. Kendati pencatatan penjualan itu kembali meningkat dari masa pandemi sebesar 5,77 persen atas torehan tahun 2020 di posisi 243.582,75 Gwh.
Di sisi lain, perusahaan setrum pelat merah itu melaporkan beban pembelian tenaga listrik dari IPP sudah mencapai di angka Rp94,22 triliun sepanjang Januari hingga September 2022. Beban itu naik signifikan 22,58 persen dari pembelian tenaga listrik IPP pada periode yang sama 2021 di angka Rp76,86 triliun.
Mengutip laporan keuangan triwulan ketiga 2022 milik perseroan, sampai dengan 30 Juni 2022 PLN telah menandatangani 37 kontrak engineering, procurement, construction (EPC) meliputi 10 pembangkit dengan kapasitas 7.490 MW di Jawa-Bali dan 27 pembangkit dengan kapasitas 2.489 MW di luar Jawa-Bali.
Adapun, PLN telah membayar uang muka sebesar US$876.217.780 dan Rp4.790.016 untuk 35 kontrak EPC yang dicatat sebagai aset dalam pembangunan. Uang muka itu didanai dari hasil penerbitan obligasi terjamin dan penarikan fasilitas kredit program percepatan.
Kendati demikian, pakar energi dari Universitas Indonesia Iwa Garniwa meminta PLN untuk berhati-hati menanggapi tren komitmen permintaan listrik yang tinggi dari smelter.
Iwa berpendapat komitmen permintaan listrik itu relatif lemah jika dihadapkan dengan asumsi pertumbuhan ekonomi makro tahun depan yang dibayangi kekhawatiran resesi global.
Seperti diketahui, PLN memproyeksikan pertumbuhan konsumsi listrik sampai dengan 2030 dalam skenario optimis dapat mencapai rata-rata 5,4 persen. Asumsi ini lebih tinggi dibandingkan asumsi dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2021-2030 yang sebesar 4,4-4,7 persen.
Dalam proyeksi moderat, perusahaan setrum pelat merah itu memproyeksikan rata-rata pertumbuhan permintaan listrik sampai dengan 2030 berada di kisaran paling rendah 4,91 persen.
“Belum ada kepastian ekonomi kita tumbuh walau pemerintah mengatakan kita akan ada di atas 5 persen, saya tidak yakin itu terjadi,” kata Iwa saat dihubungi, Selasa (20/12/2022).
Iwa meminta PLN untuk belajar dari pengalaman penyusunan rencana penyediaan listrik pada 2014-2015 lalu yang belakangan justru meleset dari prediksi awal.
Menurut dia, PLN dapat mematok penambahan kapasitas daya terpasang pembangkit listrik dengan hitungan konservatif menyesuaikan tren pertumbuhan ekonomi saat ini, kendati komitmen investasi smelter belakangan mencatatkan pertumbuhan yang signifikan.
“Pengalaman yang lalu dari 35.000 megawatt [MW] itu tidak lebih dari setengahnya yang terbangun,” kata dia.