Bisnis.com, JAKARTA - Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti) mengungkapkan sistem resi gudang masih minim dimanfaatkan oleh petani sepanjang 2022. Padahal, pemanfaatan sistem resi gudang dapat meningkatkan kesejahteraan petani.
Plt. Kepala Bappebti Didid Noordiatmoko mengatakan, sepanjang 2022 hanya 900-an petani yang menggunakan SRG dari 123 gudang yang dimiliki pemerintah, dalam hal ini Kementerian Perdagangan.
“Ini akan kami gencarkan lebih lagi supaya petani aware pada resi gudang. Karena kajian kami, petani yang memanfaatkan resi gudang, tingkat kesejahteraannya 1,6 kali dibanding yang tidak menggunakan resi gudang,” ujar Didid saat ditemui di Kantor Bappebti, Jakarta Pusat, dikutip Kamis (5/1/2023).
Didid mengatakan, SRG merupakan instrumen perdagangan maupun keuangan yang memungkinkan komoditas yang disimpan dalam gudang oleh petani memperoleh pembiayaan dari lembaga keuangan tanpa diperlukan jaminan lainnya sehingga dapat meningkatkan kredit/pembiayaan kepada petani.
Di samping itu, SRG diterapkan untuk menyimpan hasil pertanian pada saat harga jual jatuh (tunda jual) sehingga dapat menjaga kestabilan harga/inflasi. Implementasi SRG di Indonesia dimulai sejak ditetapkannya UU No.9 Tahun 2006. Kemudian diubah oleh UU No.9 Tahun 2011 dengan komoditas SRG meliputi gabah, beras, jagung, kopi, kakao, lada, karet, rumput laut, rotan, dan garam.
Menurut Didid, petani yang memanfaatkan SRG bisa memperoleh kredit usaha rakyat (KUR) dari pemerintah hingga mencapai Rp500 juta per orang/NIK.
Baca Juga
“Bisa juga dipegang oleh pelaku ekspor skala UMKM. Misalnya, barang dia belum penuh satu kontainer, padahal produksinya sudah jadi. Ekspornya belum. Makanya masukan SRG dulu, dari SRG bisa ke bank, dapat KUR. Ketika ekspornya jadi, baru bisa balikan ke bank,” jelas Didid.
Lebih lanjut, dia mengungkapkan, belum populernya atau dimanfaatkannya SRG lantaran sosialisasi yang belum optimal. Kemudian, kata Didid, banyak pemerintah daerah selaku pengelola SRG belum maksimal dalam pengelolaannya.
“Sepertinya harus dilakukan pelatihan-pelatihan agar mengelolanya dengan baik. Tapi ada resi gudang yang penuh terus seperti di Brebes. Tapi ada juga banyak kosong seperti di Kudus. Ini akan terus-terus kami perbaiki,” ujar Didid.
Di samping itu, lanjut Didid, kebiasaan petani yang sudah terlebih dulu menjual panennya kepada tengkulak. Padahal, tengkulak biasanya membeli hanya 50 persen harga pasar hasil panen petani.
“Sementara banyak petani seminggu lagi mau panen sudah didatangi tengkulak. Karena sudah dipanjer duluan walaupun harganya hanya 50 persen dari harga pasar. Jadi petani menganggap ya udah harga panen memang lagi turun, itu seolah-olah biasa,” ungkap Didid.