Bisnis.com, JAKARTA - Pada 5 Desember 2022, Uni Eropa secara prinsip telah menyepakati regulasi baru yang menangkal pelaku bisnis melakukan bisnis importasi, distribusi dan eksportasi komoditas/produk yang terasosiasi dengan deforestasi dan degradasi hutan. Latar belakangnya adalah untuk mengendalikan perusakan hutan yang disebabkan oleh ekspansi lahan pertanian guna memproduksi komoditas yang memiliki nilai ekonomis.
Norma yang diusungnya adalah meminimalkan kontribusi kelompok negara Benua Biru itu terhadap bahaya deforestasi, emisi gas rumah kaca dan hilangnya keanekaragaman hayati global. Indonesia termasuk negara yang berpotensi terkena dampak regulasi baru itu bersama negara produsen komoditas lain seperti Malaysia, Brasil dan Colombia.
Cakupan komoditas dan produk yang disepakati sementara adalah: kayu, sapi, kakao, kopi, kelapa sawit dan kedelai serta produk turunannya yaitu kulit, cokelat dan furniture. Parlemen dan Dewan Eropa juga mengusulkan perluasan daftar sementara itu meliputi babi, domba, kambing, unggas, jagung, karet, produk turunan minyak sawit, serta arang dan produk kertas. Komoditas tersebut dianggap menjadi sumber utama perusakan hutan dan pelepasan emisi gas rumah kaca global.
Komoditas yang dikategorikan bebas deforestasi adalah yang diproduksi di lahan pertanian yang tidak berasal dari alih fungsi hutan menjadi lahan pertanian setelah 31 Desember 2020. Batas waktu ini juga masih belum disepakati secara aklamasi.
Dengan demikian para pelaku bisnis yang mengekspor komoditas/produk dalam daftar wajib mematuhi ketentuan uji tuntas guna membuktikan bahwa komoditasnya bukan dihasilkan dari lahan produksi yang berasal dari alih fungsi hutan. Pernyataan uji tuntas tersebut harus memuat informasi rinci mengenai produk dan pelaku bisnis, koordinat geografis lahan produksi dan dokumen penilaian risiko yang mencakup prevalensi deforestasi/degradasi hutan di wilayah produksi serta tindakan mitigasi risiko guna mencegahnya.
Negara produsen komoditas deforestasi juga akan dikelompokkan menjadi negara beresiko tinggi, sedang dan rendah dikaitkan dengan tingkat perusakan hutan, tingkat ekspansi lahan pertanian, dan inisiatif negara untuk mencegah deforestasi. Eksportir dari negara beresiko tinggi akan menjalani pemeriksaan uji tuntas yang lebih cermat dan pengawasan tambahan. Sementara itu, mereka yang berasal dari negara berisiko rendah hanya menjalani prosedur uji tuntas sederhana tanpa dokumen penilaian dan mitigasi risiko.
Baca Juga
Regulasi ini akan diberlakukan secara resmi setelah rencana adopsi pada 2023 dan mulai berlaku 20 hari kemudian. Setelah itu perusahaan besar memiliki waktu 18 bulan dan perusahaan kecil selama 24 bulan untuk mematuhinya.
Apa dampaknya bagi pelaku bisnis Indonesia? Pertama, komoditas/produk dalam daftar beresiko tidak dapat dipasarkan di 27 negara anggota UE atau diekspor dari pasar UE ke negara ketiga. Kedua, guna menghindari hal tersebut maka pelaku bisnis harus memastikan bahwa rantai pasok komoditas dalam daftar telah dinyatakan bebas deforestasi dan memiliki data keterlacakan komoditas/produk serta pengelolaannya sesuai dengan peraturan di Indonesia. Ketiga, kewajiban uji tuntas akan meningkatkan biaya administrasi yang memberatkan petani dan industri kecil.
Apa yang harus dilakukan Pemerintah? Pemerintah harus segera memastikan bahwa Indonesia tidak diklasifikasikan sebagai negara dengan risiko tinggi. Untuk itu Pemerintah perlu segera melakukan yang berikut. Pertama, meminta klarifikasi untuk kriteria penetapan cakupan produk dan negara dengan kategori low-risk dan high-risk. Kriteria yang digunakan sebagai dasar penetapan dimaksud harus berbasis ilmu pengetahuan, obyektif, dan menggunakan data yang valid untuk semua komoditas/produk yang diatur serta dikonsultasikan kepada seluruh stakeholders, termasuk negara produsen, secara transparan.
Kedua, mempersiapkan data dukung yang ilmiah, valid dan terverifikasi mengenai upaya berkelanjutan yang dilakukan Indonesia guna perlindungan lingkungan, konservasi keanekaragaman hayati, pemeliharaan hutan primer termasuk lahan gambut dalam kaitannya dengan komoditas yang masuk dalam cakupan produk. Data dukung harus disiapkan untuk seluruh komoditas ekspor dalam daftar, diantaranya kelapa sawit, kopi, kakao, karet, kayu dan produk kayu.
Ketiga, khusus untuk komoditi kelapa sawit, sebagai alternatif sistem uji tuntas Pemerintah dapat menawarkan skema sertifikasi sawit Indonesia Sustainable Palm Oil yang sudah memperhatikan prinsip berkelanjutan dan diterapkan secara wajib. Keempat, pemerintah perlu tetap memelihara komunikasi terbuka dengan Uni Eropa (UE) terkait penyusunan regulasi ini dan aturan pelaksanaannya, baik secara individual maupun kolektif bersama negara-negara produsen lainnya.
Kelima, Indonesia perlu memperkuat komitmen untuk segera menuntaskan negosiasi bilateral Indonesia-EU CEPA secara konstruktif guna memastikan tidak adanya diskriminasi dalam akses pasar Indonesia ke pasar UE. Dalam kaitan ini, mendesak pula untuk memperkuat negosiasi kerja sama ekonomi Indonesia-UE guna membangun kapasitas petani dan industri kecil Indonesia yang terdampak oleh sejumlah regulasi yang diterbitkan UE.