Bisnis.com, JAKARTA - Indonesia dinilai tidak perlu mengkhawatirkan kebijakan Uni Eropa yang melarang impor beberapa komoditas yang dianggap sebagai pendorong utama deforestasi. Minyak kelapa sawit, kopi, kakao, dan kedelai termasuk dalam produk yang bakal dilarang memasuki Benua Biru.
Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Tauhid Ahmad mengatakan, pangsa pasar Eropa untuk minyak kelapa sawit (CPO) Indonesia tidak terlalu besar dibandingkan dengan China, India, atau negara-negara lain. Apalagi, Indonesia akan mulai mengimplementasikan campuran bahan bakar minyak (BBM) solar dengan biodiesel sebanyak 35 persen atau B35 tahun depan. Hal ini, menurutnya akan menguatkan pasar domestik Indonesia.
“Kalau misalnya pasar Uni Eropa cuma 13-14 persen kesampingkan saja. Karena India, China mulai tren [ekspor CPO-nya], jadi nggak jual ke mereka [Eropa] juga tidak masalah. Indonesia juga akan mulai dengan B35. Jadi tidak usah khawatir,” ujar Tauhid dalam diskusi Trade Outlook 2023, Senin (20/12/2022).
Diberitakan Bloomberg pada Selasa (6/12/2022), parlemen dan negara anggota Uni Eropa sepakat untuk menerapkan regulasi anyar dalam importasi produk pertanian. Importir di Benua Biru harus memastikan produk minyak sawit, daging sapi, kayu, kopi, kedelai, kakao, hingga karet tidak berasal dari lahan hasil alih fungsi hutan atau deforestasi.
Tauhid mengungkapkan, Uni Eropa memang selalu memainkan isu bahwa kelapa sawit tidaklah ramah lingkungan. Menurut Tauhid, isu tersebut sengaja dimunculkan agar minyak yang dihasilkan oleh mereka dari biji bunga matahari tidak kalah saing.
“Jadi ini adalah masalah perang degang, ya. Jadi masalahnya produksi minyak biji matahari mereka berkurang trennya dan merupakan itu padahal andalan Eropa dan berlawan dengan palm oil yang marketnya semakin besar. Apalagi ini terkait bahan untuk biofuel yang sangat dibutuhkan Uni Eropa,” jelas Tauhid.
Baca Juga
Lebih lanjut, dia mengungkapkan, jika Eropa memang telah memainkan isu tersebut sejak lama, dimulai pada 2018 memberlakukan Renewable Energy Directive (RED II). Menurut dia, kebijakan model seperti itu merupakan standar ganda Eropa. Pasalnya, ujar dia, deforestasi yang terjadi di Eropa lebih tinggi dibanding di Indonesia untuk membangun perkebunan-perkebunan pangan negeri Benua Biru itu.
“Deforestasi supply chain itu 7 persennya dari sawit. Sebenarnya kecil jika sawit menyumbang deforestation supply chain sehingga tidak usah khawatir dan saya dengan dari pemerintah bahwa ini melawan ketentuan WTO yang sifatnya multilateral dan sebagainya sehingga ini harus dilawan di WTO,” tutur Tauhid.
Dia berharap Indonesia tidak terjebak pada isu perubahan iklim meski secara prinsip telah disepakati. Sebab, apabila salah langkah, hal tersebut bisa merugikan Indonesia sendiri. Dia mencontohkan, saat Indonesia sepakat menyetop secara bertahap PLTU yang bahan bakarnya berasal dari batu bara pada 2030. Padahal, hampir 60 persen energi Indonesia berasal dari batu bara.
“Ketika kita assignment pada 2030 nol persen batu bara untuk diganti ke solar, kita harus mempertimbangkan berapa kompensasi yang diberikan kepada masyarakat,” ucapnya.
Padahal, menurut Tauhid, penghasil karbon terbesar itu berasal dari negara-negara maju seperti Amerika Serikat dan Uni Eropa. Makanya, kata dia, India tidak ingin negaranya didikte lewat isu climate change. Sebab, konversi energi secara cepat dari batu bara ke energi terbarukan membutuhkan biaya yang amat mahal.
“India bukannya tidak mampu secara teknologi menggunakan panel solar, misalnya. Tapi mereka sadar jika hal itu akan memakan biaya yang sangat besar,” ucap Tauhid.