Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Smelter Tumbuh Subur, PLN Hitung Ulang Rencana Investasi Pembangkit

Kebijakan moratorium ekspor dan hilirisasi mineral turut mengerek permintaan listrik yang di luar prediksi dari rencana usaha penyediaan tenaga listrik PLN.
Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) di Tanjung, Kalimantan Selatan, Rabu (13/3/2019)./Bisnis-Nurul Hidayat
Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) di Tanjung, Kalimantan Selatan, Rabu (13/3/2019)./Bisnis-Nurul Hidayat

Bisnis.com, JAKARTA — PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) atau PLN tengah berhati-hati untuk merevisi kembali Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2021-2030 seiring dengan tingginya komitmen permintaan setrum dari pabrik pengolahan dan pemurnian atau smelter bijih mineral saat ini.

Direktur Utama PLN Darmawan Prasodjo mengatakan, perseroan tengah menghitung ulang potensi penambahan daya terpasang pembangkit untuk mengimbangi komitmen investasi dan listrik dari perusahaan pengolahan mineral mendatang.

Peningkatan investasi serta komitmen permintaan itu didorong oleh kebijakan moratorium ekspor mineral tambang yang dibarengi dengan kewajiban industri untuk melakukan pengolahan bahan baku di dalam negeri. Konsekuensinya, investasi yang masuk untuk smelter saat ini melampaui prediksi penyediaan listrik PLN. 

“Membuat investasi pengolahan nikel itu tumbuh luar biasa, di sini ada namanya additional demand di luar prediksi dari rencana usaha penyediaan tenaga listrik,” kata Darmawan dalam Indonesia Economic Outlook 2023, Selasa (20/12/2022).

Kendati demikian, Darmawan menggarisbawahi, hitung-hitungan penambahan daya terpasang pembangkit itu bakal dilakukan dengan penuh kehati-hatian. Alasannya, perhitungan yang meleset dengan realisasi investasi smelter justru bakal memperlebar kondisi kelebihan pasokan atau oversupply listrik tahun ini.

Berdasarkan skenario yang disusun PLN, 155 potensi konsumen tegangan tinggi (KTT) diperkirakan membutuhkan daya listrik hingga 28 gigawatt (GW) yang masuk pada kategori high risk. Sementara itu, kategori high medium diidentifikasikan dengan 110 KTT dengan potensi permintaan 18 GW.

Di sisi lain, kategori medium risk diproyeksikan berasal dari 59 KTT dengan kapasitas tambahan terpasang mencapai 8 GW. Adapun, PLN menetapkan kategori low risk dengan asumsi 18 KTT yang membutuhkan daya di angka 1,7 GW.

“Tetapi apakah ini semua akan masuk? Ada banyak sekali yang daftar nanti ternyata investasinya tidak terealisasi, kalau ini kami penuhi semua, kami bangun pembangkit berdasarkan ini, gardu induk, transmisi tetapi tidak datang asetnya jadi stranded,” kata Darmawan.

Berdasarkan data pertumbuhan penjualan listrik PLN, regional Sulawesi, Maluku, Papua, dan Nusa tenggara mencatatkan pertumbuhan tertinggi mencapai 9,66 persen sepanjang Januari hingga November 2022.

Pertumbuhan penjualan listrik itu melampaui pencatatan yang dilaporkan regional Sumatra, Kalimantan, dan Jawa-Madura-Bali dengan torehan masing-masing di angka 6,68 persen dan 6,16 persen pada periode yang sama.

Adapun, secara nasional, realisasi penjualan listrik sudah mencapai 247.706 gigawatt hour (GWh) sepanjang Januari hingga November 2022. Penjualan setrum PLN itu mengalami pertumbuhan mencapai 6,52 persen jika dibandingkan pada periode yang sama tahun lalu.

Seperti diberitakan sebelumnya, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menargetkan terdapat tambahan tujuh smelter yang dapat beroperasi pada akhir tahun ini. Dengan demikian, total smelter yang bakal efektif beroperasi hingga akhir tahun ini mencapai 28 unit untuk mempercepat upaya hilirisasi komoditas mineral dan logam dalam negeri.

“Perkembangan pembangunan smelter sampai 2021 itu, sudah ada 21 smelter beroperasi yang kemudian kalau kita lihat rencana 2022 itu akan ada tambahan lagi tujuh smelter, tentunya kalau kita lihat mudah-mudahan bisa berjalan lancar hingga akhir 2022 itu menjadi 28 smelter,” kata Staf Khusus Menteri ESDM Irwandy Arif, beberapa waktu lalu.

Kementerian ESDM mencatat total investasi yang dibutuhkan untuk upaya percepatan pembangunan smelter hingga 2023 mencapai US$30 miliar atau setara dengan Rp437,1 triliun. Rencana anggaran itu naik 36,3 persen dari posisi awal yang dipatok sebesar US$22 miliar atau setara dengan Rp320,54 triliun pada 2021 lalu.

“Sampai 2023 itu dibutuhkan biaya pada perhitungan tahun lalu sekitar US$22 miliar, katakanlah ada inflasi kenaikan harga maksimum bisa US$30 miliar supaya rencana pendirian smelter itu sampai 2023 bisa terpenuhi,” kata dia.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper