Bisnis.com, JAKARTA — Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menilai bahwa penggunaan teknolog digital dalam penyaluran bantuan sosial (bansos) kepada masyarakat dapat menekan risiko korupsi dan proses birokrasi yang berbelit-belit.
Sri Mulyani menjelaskan bahwa digitalisasi atau adaptasi teknologi membantu banyak proses pengelolaan keuangan negara. Berbagai proses dapat lebih cepat dan hemat biaya karena berjalan secara otomatis.
Selain itu, teknologi digital memungkinkan pemerintah melakukan transaksi langsung kepada masyarakat dengan biaya minim. Dia membandingkan bahwa sebelum adaptasi teknologi secara masif, transaksi kepada masyarakat membutuhkan banyak sumber daya manusia, biaya, dan waktu.
Dia pun menyebut bahwa adaptasi teknologi dapat mencegah terjadinya korupsi dalam penyaluran bantuan sosial. Pasalnya, saat ini penyaluran dana berjalan secara langsung ke rekening masing-masing penerima, tanpa melalui perantara orang.
"Setiap program pemerintah yang langsung memberikan manfaat ke masyarakat, akan dikhawatirkan melalui berbagai proses birokrasi dan administrasi yang kemudian sangat rentan terhadap korupsi atau pungutan liar, yang kemudian manfaatnya kepada masyarakat menjadi menurun," ujar Sri Mulyani dalam Conference on Public Finance and Treasury 2022, Selasa (14/12/2022).
Dia mencontohkan bahwa penyaluran manfaat kepada masyarakat itu berjalan baik seperti dalam bansos ketika harga bahan bakar minyak (BBM) meningkat. Program kartu Prakerja pun memungkinkan pemerintah memberikan manfaat langsung kepada penerima.
"Banyak bansos kita sekarang by name by address, ditransfer langsung dari pemerintah pusat langsung ke bank account dari penerima. Ini sebuah revolusi. Masih banyak yang harus diperbaiki, seperti targetnya, apakah rumah tangga tersebut betul-betul yang berhak menerima sehingga inclusion dan exclusion error harus terus kita perhatikan," kata Sri Mulyani.
Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia tercatat berada di 38, masih berada di bawah rata-rata global yakni 43. IPK Indonesia berkutat di angka 37 dan 38 dalam lima tahun terakhir—sempat menyentuh 40 tetapi langsung turun ke 38.
Indonesia pun tercatat berada di urutan 96 dari 180 negara dalam hal persepsi korupsi. Artinya, korupsi masih menjadi sesuatu yang mengakar dalam praktik pemerintahan.