Bisnis.com, JAKARTA — Pemerintah dinilai perlu mempertimbangkan skema pungutan ekspor bijih mineral strategis ketimbang memaksakan moratorium ekspor yang belakangan dianulir panel Organisasi Perdagangan Dunia (WTO).
Kepala Pusat Industri, Perdagangan, dan Investasi Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Andry Satrio Nugroho memandang, skema pungutan ekspor itu diperlukan sebagai antisipasi adanya peluang sejumlah negara mitra yang mengambil langkah pembalasan dagang atau retaliasi setelah pemerintah berkomitmen memperluas moratorium ekspor tersebut.
“Retaliasi ini kemungkinan bisa dilakukan negara mitra, menurut saya ketimbang dilakukan proses pemaksaan dalam hal ini pelarangan nontarif artinya benar-benar ditutup, saya cenderung dorong digunakan mekanisme pasar,” kata Andry saat dihubungi, Rabu (30/11/2022).
Menurut Andry, pembalasan yang mungkin diambil mitra dagang relatif berisiko untuk industri dan perekonomian di dalam negeri. Apalagi, Indonesia turut bergantung dari sejumlah komoditas impor dari negara lain.
Dengan demikian, dia menilai pembatasan ekspor lewat instrumen tarif relatif dapat diterima di perdagangan internasional. Langkah itu, kata dia, dapat turut memberi tambahan pemasukan bagi penerimaan negara dan menjaga harga bijih atau bahan mentah di industri hulu dalam negeri tetap terjaga.
“Kalau ada pembalasan perdagangan tidak akan terjadi karena semua akan kembali pada pasar. Di sisi lain, pungutan ekspor silahkan ditinggikan kan, kita tidak menutup pintu ekspor ini yang perlu dipahami,” kata dia.
Baca Juga
Sebelumnya, Presiden Joko Widodo alias Jokowi menegaskan pemerintah akan mengajukan banding atas putusan panel WTO yang belakangan menyatakan Indonesia melanggar ketentuan terkait dengan kebijakan larangan ekspor dan hilirisasi bijih nikel dalam negeri.
Adapun, laporan final panel pada 17 Oktober 2022 lalu menyatakan Indonesia terbukti melanggar ketentuan WTO Pasal XI.1 GATT 1994 dalam sengketa yang terdaftar pada dispute settlement (DS) 592.
Pembelaan Pemerintah Indonesia lewat ketentuan Pasal XI.2 (a) dan XX (d) GATT 1994 berkaitan dengan keterbatasan jumlah cadangan nikel nasional juga ditolak badan pengatur perdagangan internasional tersebut.
“Sekali lagi meskipun kita kalah di WTO, kalah urusan nikel ini kita digugat Uni Eropa, kita kalah tidak apa apa, saya sampaikan ke menteri untuk banding,” kata Jokowi saat peresmian pembukaan Rapat Koordinasi Nasional Investasi 2022 seperti disiarkan dari YouTube Sekretariat Presiden, Rabu (30/11/2022).
Malahan, Jokowi mengatakan, Indonesia akan melanjutkan moratorium ekspor pada komoditas bauksit dalam waktu dekat. Keputusan itu diambil setelah kebijakan larangan ekspor serta hilirisasi bijih nikel efektif meningkatkan nilai tambah komoditas mineral itu di dalam negeri.
“Nanti babak kedua hilirisasi lagi bauksit, artinya bahan mentah bauksit harus diolah di dalam negeri agar kita dapatkan nilai tambah setelah itu bahan bahan lainnya,” kata dia.