Bisnis.com, JAKARTA - Upaya meningkatkan peran sektor perikanan khususnya di bidang penangkapan ikan menjadi perhatian pemerintah saat ini. Berbagai peraturan dan kebijakan penangkapan ikan yang dikeluarkan oleh pemerintah diharapkan dapat memperbaiki pengelolaan sumber daya perikanan tangkap dan meningkatkan kontribusinya pada penerimaan negara, memperkuat ketahanan ekonomi, mengurangi kesenjangan, menjamin pemerataan, meningkatkan daya saing, dan kemandirian rakyat di sektor perikanan.
Kesungguhan pemerintahan Presiden Jokowi untuk memperbaiki tata kelola penangkapan ikan nasional tampak pada periode pertama melalui kebijakan moratorium perizinan penangkapan ikan, dan juga penegakan hukum praktik penangkapan ikan ilegal dengan menempatkan tiga elemen utama perbaikan penangkapan ikan yaitu pada aspek menegakkan kedaulatan, mendorong keberlanjutan, dan kesejahteraan.
Namun, upaya perbaikan penangkapan ikan tersebut belum diikuti dengan keseriusan mereformasi tata kelola industri perikanan dan juga pembenahaan struktur dan peran pelabuhan perikanan. Pelabuhan perikanan di Indonesia jumlahnya sangat banyak, mencapai 578 pelabuhan. Sebarannya pun timpang yaitu 74% terkonsentrasi di Pulau Jawa dan Sumatra, demikian juga 88% kapasitas pelabuhan perikanan di Indonesia berskala lokal yang peranannya masih jauh dari harapan untuk dapat berkompetisi dengan pelabuhan perikanan di kawasan Asia, Eropa, dan Amerika.
Pembangunan perikanan bidang penangkapan ikan saat ini diarahkan pada industrialisasi dengan pola terukur di wilayah pengelolaan perikanan (WPP) dengan potensi sumber daya ikan yang besar. Penangkapan ikan skala industri ini terkonsentrasi di WPP 718, 572, 573, dan 711 yang potensi ikannya diperkirakan sekitar 6,5 juta ton atau lebih dari 54% dari total potensi lestari.
Penangkapan ikan terukur ini berlandaskan pada ideologi kapitalisme dan neo-liberalisasi yang mengusung gagasan privatisasi pengelolaan sumber daya perikanan termasuk dalam pengelolaan pelabuhan perikanan. Penangkapan ikan terukur berorientasi pada pencapaian pertumbuhan produksi perikanan dengan memberikan karpet merah pada investasi penangkapan ikan skala besar, serta mengejar target penerimaan negara bukan pajak (PNBP) yang selama dua dekade tidak pernah melampaui 1% dari total penerimaan dari sumber daya alam.
Usaha perikanan skala besar mendapat akses izin dan juga kuota penangkapan ikan disertai kebebasan untuk dapat mengendalikan hasil tangkapan (produksi) ikan pada pelabuhan perikanan swasta (privat) termasuk akses pengalihmuatan hasil tangkapan ikan (transshipment) dan juga perdagangan ikan ke pasar internasional.
Hal ini tampak dari ditetapkannya dua pelabuhan perikanan swasta di WPP 718 yaitu di Tual dan Benjina sebagai sentra industrialisasi penangkapan ikan. Namun, kedua pelabuhan swasta tersebut tidak didesain untuk membangun kekuatan industrialisasi pengolahan ikan di dalam negeri. Penetapan pelabuhan perikanan swasta ini utamanya untuk mendukung peningkatan produksi penangkapan ikan dan pengumpulan pungutan penerimaaan negara pascaproduksi penangkapan ikan untuk meningkatkan PNBP pada sektor penangkapan ikan.
Industrialisasi penangkapan ikan dengan pola terukur ini menjauh dari semangat membangun keadilan dan kemandirian industri perikanan serta melenceng dari cita-cita mewujudkan perikanan berdikari. Keterlibatan dan peran pelaku usaha penangkapan ikan skala kecil menengah dan koperasi, serta BUMN perikanan dikawasan penangkapan ikan industri tidak mendapat perhatian.
Tidak ada skema kebijakan yang dapat mendorong tumbuhnya kerja sama dan kolaborasi antara pelaku penangkapan ikan skala industri dengan skala kecil dan tradisional, juga dengan koperasi nelayan dan BUMN penangkapan ikan.
PENANGKAPAN IKAN BERDIKARI
Tuntutan reformasi penangkapan ikan di Indonesia adalah terjadi perubahan mendasar pada struktur usaha penangkapan ikan yang tidak mengandalkan privatisasi dan konglomerasi usaha yang berasosiasi dengan kartel industri penangkapan dan pengolahan ikan transnasional tetapi pada penciptaan pola penangkapan ikan yang mandiri dan berkeadilan, dibangun secara kolektif dengan pola kerja sama yang dapat memperkuat peran penangkapan ikan skala kecil, menengah, koperasi, asosiasi dan BUMN perikanan.
Penangkapan ikan berdikari perlu diperjuangkan dengan memperkuat armada perikanan rakyat melalui investasi, inovasi dan teknologi penangkapan ikan serta mengurangi ketergantungan pasar ekspor komoditas ikan sebagai bahan baku. Mengingat sebagian besar hasil tangkapan ikan skala industri atau 80% mengalir ke pasar ekspor (internasional) dalam bentuk bahan baku untuk industri seafood negara lain khususnya negara maju.
Karenanya, orientasi penangkapan ikan perlu diarahkan untuk penciptaan lapangan kerja dan peningkatan nilai tambah serta daya saing industri pengolahan ikan di dalam negeri, serta meningkatkan konsumsi ikan domestik. Penangkapan ikan rakyat mesti didorong untuk mendukung penghiliran komoditas pangan berbasis ikan dan juga memperkuat cadangan pangan ikan nasional.
Praktik penangkapan ikan diharapkan dapat mewujudkan keadilan dan kemandirian industri perikanan nasional. Desain kebijakan pembangunan perikanan tidak harus tunduk mengikuti skenario liberalisasi, tetapi yang dibutuhkan adalah kebijakan afirmasi di antaranya dengan menambah kekuatan armada kapal perikanan nasional di perairan laut kepulauan dan juga di lautan lepas.
Selain itu, perlu juga mengembangkan pelabuhan-pelabuhan perikanan dan juga pasar ikan modern bertaraf internasional. Industri penangkapan ikan domestik perlu didorong untuk dapat beroperasi ke wilayah penangkapan ikan hingga ke ZEEI.