Bisnis.com, JAKARTA — Anggaran pendapatan dan belanja negara atau APBN mengalami defisit pertama kalinya pada tahun ini, yakni menjadi defisit Rp169,5 triliun atau 0,91 persen terhadap PDB. Penyebabnya, laju kenaikan belanja secara bulanan lebih tinggi daripada penerimaan negara.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menjelaskan bahwa pada kurun Januari—Oktober 2022, APBN mencatatkan defisit Rp169,5 triliun. APBN masih terjaga surplus hingga akhir kuartal III/2022, yakni surplus Rp60,9 triliun per September 2022.
Defisit APBN terjadi karena nominal belanja negara lebih tinggi daripada pendapatannya. Hingga Oktober 2022, belanja tercatat mencapai Rp2.351,1 triliun dan pendapatan ada di Rp2.181,6 triliun, sehingga terpaut selisih Rp169,5 triliun atau setara dengan 0,91 persen terhadap produk domestik bruto (PDB).
Lantas, kenapa APBN Oktober 2022 mencatat defisit untuk pertama kali sejak awal tahun?
Bisnis menelusuri data APBN setiap bulannya dan menemukan bahwa laju penerimaan negara cenderung sudah stabil, sedangkan belanja negara mencatatkan kenaikan signifikan dari bulan ke bulan.
Pendapatan negara pada Agustus 2022 tercatat senilai Rp213,4 triliun dan pada September 2022 bertambah Rp210,3 triliun. Laju pendapatan negara melambat pada Oktober 2022 menjadi Rp206,9 triliun.
Perlambatan pendapatan negara secara bulanan terjadi baik di penerimaan perpajakan maupun penerimaan negara bukan pajak (PNBP). Penerimaan perpajakan yang pada Agustus 2022 mencapai Rp213,4 triliun berangsur turun pada Oktober 2022 menjadi Rp161,9 triliun, begitu pun PNBP per Agustus 2022 Rp48,9 triliun dan Oktober 2022 menjadi Rp45 triliun.
Di sisi lain, laju belanja negara secara bulanan meningkat tajam. Pemerintah merealisasikan belanja pada Agustus 2022 senilai Rp212,2 triliun, lalu September 2022 naik menjadi Rp256,9 triliun, dan pada Oktober 2022 melesat menjadi Rp437,2 triliun—terjadi kenaikan dua kali lipat dalam dua bulan.
Kenaikan belanja bulanan terbesar terjadi di pemerintah pusat, yakni pada Agustus 2022 masih Rp146,9 triliun, lalu naik pada September 2022 menjadi Rp183,1 triliun, dan naik pesat pada Oktober 2022 menjadi Rp310,7 triliun.
Lonjakan drastis terjadi di belanja bulanan non kementerian lembaga, yang pada Agustus 2022 masih Rp61,7 triliun, tetapi pada Oktober 2022 ngegas menjadi Rp230,9 triliun.
Transfer ke daerah (TKD) secara bulanan turut mengalami kenaikan, tetapi tidak sepesat belanja daerah. Pada Agustus 2022, TKD terealisasi Rp107 triliun, turun pada September 2022 menjadi Rp73,8 triliun, dan kembali naik pada Oktober 2022 menjadi Rp126,5 triliun.
Sri Mulyani menyebut bahwa pemerintah memang mendesain APBN 2022 untuk defisit, karena tingginya kebutuhan belanja untuk penanganan pandemi Covid-19 dan pemulihan ekonomi. Sehingga wajar jika APBN yang sudah bergerak surplus dalam sembilan bulan terakhir akan turun ke zona defisit.
"Total overall defisit [per Oktober 2022] sudah di Rp169,5 triliun. Dibandingkan dengan Perpres 98/2022, defisit total sebetulnya adalah Rp439,9 triliun, jadi defisit Rp169,5 triliun masih jauh lebih rendah dari [tolok ukur dalam] Perpres 98," ujar Sri Mulyani dalam konferensi pers APBN Kita, Kamis (24/11/2022).
Keseimbangan primer pada Oktober 2022 tercatat masih surplus Rp146,4 triliun, turun dari posisi September 2022 yakni Rp339,4 triliun. Selain itu, keseimbangan primer pun tercatat berbalik membaik dari posisi Oktober 2021 yang masih negatif Rp266,9 triliun.
Sri Mulyani menyebut bahwa sisa lebih pembiayaan anggaran (SiLPA) per Oktober 2022 mencapai Rp270,4 triliun. Angkanya turun dari posisi September 2022 senilai Rp490,7 triliun.
Penerimaan Pajak Moncer
Penerimaan pajak mencapai Rp1.448,2 triliun atau 97,5 persen dari total target pada Oktober 2022. Hal tersebut memperkuat keyakinan pemerintah bahwa penerimaan pajak tahun ini akan melampaui target yang sudah ditetapkan
Sri Mulyani menjelaskan bahwa hingga Oktober 2022, penerimaan pajak telah tumbuh 51,8 persen (year-on-year/YoY) dan telah mencapai 97,5 persen dari target.
Mengutip data APBN Kita per Oktober 2022, realisasi pajak penghasilan (PPh) nonmigas mencapai Rp784,4 triliun atau sudah 104,7 persen dari target APBN. PPh migas yang telah terkumpul Rp67,9 triliun pun sudah melampaui target, yakni 105,1 persen.
Realisasi pajak pertambahan nilai (PPN) dan pajak penjualan barang mewah (PPnBM) telah mencapai Rp596,7 triliun atau 89,2 persen dari target APBN. Lalu, realisasi penerimaan pajak bumi dan bangunan (PBB) dan pajak lainnya tercatat senilai Rp26 triliun atau 80,6 persen dari target.
"Memang kalau dilihat dari penerimaan pajak kita bisa dan boleh berbesar hati, karena ini menggambarkan kondisi perekonomian kita menunjukkan pemulihan aktivitas. Tentu di satu sisi karena harga komoditas, tetapi kita juga lihat pertumbuhan ekonomi yang sudah mulai merata di berbagai sektor dan daerah," ujar Sri Mulyani.
Sri Mulyani meyakini bahwa penerimaan pajak akan segera melampaui target. Hal tersebut dapat mendukung tujuan APBN untuk mencapai konsolidasi fiskal.
Dia menyebut bahwa kinerja penerimaan pajak yang sangat baik pada awal kuartal IV/2022 itu masih terpengaruh oleh tren peningkatan harga komoditas. Kinerja penerimaan pajak juga didukung oleh pertumbuhan ekonomi yang ekspansif dan implementasi UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP).
"Tahun ini ada beberapa measure seperti UU HPP yang menambah kapasitas penerimaan pajak. Ini penting karena APBN perlu kembali disehatkan untuk menjaga perekonomian rakyat dalam jangka menengah panjang," katanya.
Meski sudah sesuai ekspektasi, Sri Mulyani mengungkapkan ada beberapa hal yang perlu waspadai. Jika melihat kurva perkembangan atau growth bulanan, sudah menunjukkan tren melandai.
Jika secara penerimaan pajak overall mencapai 51 persen, lanjutnya, tetapi secara (month-to-month/mtm) sudah menggambarkan adanya kembali ke level yang tidak setinggi seperti headline-nya, yaitu di 32,7 persen.
Dia juga mengingatkan pemerintah akan menyesuaikan penerimaan pajak lantaran realisasi basis perpajakan yang cukup tinggi pada tahun ini.
"Karena tahun ini basisnya sangat tinggi, maka tahun depan kita harus adjust level of growth dari penerimaan pajak. Karena enggak mungkin selalu tinggi terus, karena perekonomian akan mengalami kontraksi kalau penerimaan pajak terlalu besar dibandingkan pertumbuhan ekonominya sendiri," ucapnya.