Bisnis.com, JAKARTA - Pertemuan puncak Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) perubahan iklim (Conference of the Parties/COP 27) telah digelar di Sharm El Sheikh, Mesis 6—18 November 2022.
Salah satu target Indonesia ialah sebagai negara maritim, Indonesia akan meningkatkan pemahaman ocean and climate nexus melalui penguatan kerja ilmiah berbentuk penelitian dan pengembangan, peningkatan pemodelan serta observasi kelautan untuk pengelolaan dan pengkoleksian data. Ironisnya, soal kemiskinan masyarakat pesisir imbas dari perubahan iklim tak masuk target Indonesia.
Sejatinya, masyarakat pesisir tergolong kelompok rentan dan miskin di negeri ini. Hidupnya bergantung sumber daya perikanan tangkap. Secara historis, mereka acapkali mendapat perlakuan ketidakadilan secara ekonomi maupun politik.
Kini pemerintah getol mengusung istilah baru pembangunan yaitu ekonomi biru. Begitu ngototnya, pemerintah Indonesia hingga bakal mengusungnya dalam ajang G-20 di Bali dan pada saat KTT Perubahan Iklim di Mesir. Ada apa dibalik semua ini? Secara historis, ekonomi biru pertama kali diadopsi PBB dalam Konferensi Tingkat Tinggi Pembangunan Berkelanjutan Rio+20 tahun 2012 di Rio de Janeiro Brazil. Argumennya, lewat ekonomi biru bakal tercipta pertumbuhan biru (blue growth) dengan memanfaatkan sumberdaya kelautan dan perikanan secara berkelanjutan. Nantinya bisa mengatasi dampak perubahan iklim global, kemiskinan ekstrem, kelaparan dan ancaman degradasi sumber daya kelautan beserta ekosistemnya.
Sayangnya, di tingkat global ini ekonomi biru meng alami ambigu dan kontradiktif soal definisi dan pemahaman (Cisneros-Montemayor, et al (2022). Meskipun telah menghegemoni semua negara di dunia dengan motor penggeraknya lembaga keuangan internasional (Bank Dunia, IMF dan ADB) (Schutter et al 2021).
Bentuknya pinjaman (loan) dan surat utang (bond) diterbitkan suatu negara. Menariknya, negara–negara yang telah mendapatkan skema utang keuangan biru justru memproduksi kemiskinan, kesenjangan dan peminggiran masyarakat pesisir, nelayan skala kecil, perempuan nelayan di Zanzibar, Tanzania, Chili, Prancis dan Inggris dan masyarakat adat di Seychelles (Gustavsson, 2021 dan Schutter et al 2021).
Baca Juga
Tuntutan Keadilan
Riset terbaru Cinner et al (2022), menemukan potensi dampak perubahan iklim terhadap pertanian dan perikanan di 72 komunitas pesisir tropis lima negara Indo-Pasifik: Indonesia, Madagaskar, Papua Nugini, Filipina, dan Tanzania yaitu; pertama, potensi kerugian sektor perikanan lebih tinggi ketimbang pertanian. Kedua, lebih dari 2/3 komunitas tropis bakal mengalami kerugian produksi perikanan dan pertanian secara bersamaan, sehingga membutuhkan tindakan mitigasi perubahan iklim. Ketiga, komunitas masyarakat dengan tingkat sosial ekonomi rendah alias miskin diprediksi mengalami dampak potensial paling besar akibat perubahan iklim.
Menyikapi persoalan ini, mau tidak mau membutuhkan desain kebijakan berkeadilan (justice), setara (equity) dan berpihak bagi masyarakat pesisir. Kalangan pemikir dan gerakan masyarakat sipil menawarkan ragam alternatif, pertama, keadilan biru yaitu model “governability” melalui mekanisme pengembangan kelembagaan (right institutions) bersifat transdisiplin (terintegrasi), partisipatif, dan holistik (Jentoft, 2022) dalam pengelolaan kelautan;
Kedua, konsep komunitas biru yang mendahulukan kesejahteraan, keadilan sosial dan ekologi ketimbang pertumbuhan ekonomi. Ketiga, Paradigma degrowth biru sebagai anti tesis kegagalan pertumbuhan (growth) dalam menciptakan kesejahteraan, keadilan sekaligus keberlanjutan sumberdaya alam dan ekologinya (Ertör & Hadjimichael (2020).
Prosesnya kolektif-deliberatif yang mengendalikan mekanisme pasar serta menjamin pertukaran barang dan jasa secara adil dalam kehidupan manusia (Schneider et al, 2013).
Keempat, ekonomi donat (Doughnut Economics) berbasis kelautan yang menekankan proses regeneratif sumber daya dan keadilan distributif. Konsepnya diinspirasi dari simbol kesejahteraan aneka budaya kuno yang mencerminkan rasa keseimbangan dinamis. Misalnya, Maori Takarangi, Taoist Yin Yang, dan Buddha.