Bisnis.com, JAKARTA — Perusahaan pembiayaan infrastruktur pelat merah PT Sarana Multi Infrastruktur (Persero) atau PT SMI meminta pelonggaran klasifikasi pembiayaan pembangkit listrik tenaga batu bara (PLTU) pada panduan taksonomi hijau Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Pelonggaran itu diharapkan dapat menarik pembiayaan lebih masif dari sektor komersial pada upaya pensiun dini PLTU di dalam negeri.
Direktur Manajemen Risiko PT SMI Pradana Murti mengatakan terdapat tantangan pendanaan pada program pensiun dini PLTU karena minimnya pembiayaan dari lembaga keuangan swasta. Alasannya, aset PLTU dinilai memiliki sentimen negatif pada portofolio pembiayaan mereka.
“Kita perlu melonggarkan taksonomi hijau kalau ingin lembaga keuangan internasional ikut membenamkan uang mereka pada transisi PLTU,” kata Pradana saat 'Dialogue on IPP Just Energy Transition Initiatives' di Bali disiarkan lewat zoom, Selasa (15/11/2022).
Menurut Pradana, isu panduan taksonomi hijau untuk mengurangi pendanaan pada PLTU telah menjadi perhatian global seiring dengan meningkatnya ongkos pensiun dini pembangkit berbasis fosil tersebut untuk mengejar target nol gas buang pada 2060.
Malahan permasalahan soal isu panduan taksonomi yang membatasi pendanaan pada PLTU itu juga muncul pada pembahasan COP 27 yang berlangsung di Sharm El Sheikh, Mesir pada 6 hingga 18 November 2022 lalu. Pradana mengatakan taksonomi baru yang menampung pendanaan untuk percepatan pensiun dini PLTU mesti diakomodasi saat ini.
Baca Juga
“Taksonomi khusus berkaitan dengan upaya transisi ini perlu dikembangkan, ini akan perlu waktu ketika itu sudah dapat dilonggarkan maka pembiayaan dari swasta akan dengan mudah dimobilisasi untuk pensiun dini PLTU,” kata dia.
Adapun, Wakil Menteri BUMN I Pahala N. Mansury membeberkan perbankan serta pemberi pinjaman komersial masih ragu-ragu untuk mendanai program pensiun dini pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) berbasis batu bara. Sebabnya, mereka menghindari portofolio fosil dalam kegiatan lending mereka.
Hal itu diungkapkan Pahala selepas penandatanganan nota kesepahaman atau memorandum of understanding (MoU) antara Asian Development Bank (ADB) bersama dengan PT Perusahaan Listrik Negara (Persero), Indonesian Investment Authority (INA) dan Cirebon Electric Power (CEP) untuk pemadaman lebih awal PLTU Cirebon-1 yang berlokasi di Jawa Barat lewat skema blended financing dari skema energy transition mechanism (ETM).
“Country platform sudah resmi diumumkan hari ini, pada akhirnya siapa yang akan menanggung biayanya apa nanti yang memastikan pembiayaan ini,” kata Pahala saat diskusi 'Roundtable : Transactions Leading the Shift From Coal to Clean Energy' di Nusa Dua, Bali, Senin (14/11/2022).
Pahala mengatakan dirinya belum mengetahui lebih lanjut apakah pendanaan lewat ETM itu sudah memasukkan taksonomi pembiayaan hijau atau green financing taxonomy untuk memastikan portofolio investasi dari perbankan atau pemberi pinjaman tidak terpengaruh negatif oleh sentimen fosil.
“Ketika kami bicara dengan teman-teman di perbankan mereka sangat bergairah tentang ini, tapi mereka bertanya apakah pembiayaan transaksi itu sudah masuk pada bagian pembiayaan hijau,” kata dia.
Seperti diberitakan sebelumnya, Bank Pembangunan Asia atau Asian Development Bank (ADB) menandatangani nota kesepahaman atau memorandum of understanding (MoU) untuk memulai pembahasan pensiun dini pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) Cirebon-1 dengan kapasitas daya 660 megawatt (MW) yang berlokasi di Jawa Barat.
Nota kesepahaman itu turut ditandatangani oleh PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) atau PLN, Indonesian Investment Authority (INA) dan pemilik PLTU Cirebon-1, Cirebon Electric Power (CEP) saat Grand Launching Indonesia Energy Transition Mechanism Country Platform di Nusa Dua, Bali, Senin (14/11/2022).
President ADB Masatsugu Asakawa mengatakan program pensiun dini PLTU Cirebon-1 itu nantinya bakal menggunakan struktur pendanaan gabungan atau blended finance dari skema energy transition mechanism (ETM). Berdasarkan hitung-hitungan ADB, pendanaan pensiun dini PLTU Cirebon-1 berkisar di angka US$250 juta hingga US$300 juta (Rp3,87 triliun hingga Rp4,65 triliun, kurs Rp15.514).
“Krisis iklim saat ini tidak dapat diatasi tanpa skema ini, terutama di kawasan kita di mana banyak PLTU masih begitu muda,” kata Asakawa di Nusa Dua, Bali, Senin (14/11/2022).