Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Terungkap! Ini 3 Hambatan Proyek Jet Tempur RI-Korsel KF-21 Boramae

Berikut 3 hal yang menjadi hambatan saat pengembangan jet tempur Indonesia-Korsel KF-21 Boramae.
Prototype jet tempur KF-21 Boramae/ Dok. Korea Aerospace Industries (KAI).
Prototype jet tempur KF-21 Boramae/ Dok. Korea Aerospace Industries (KAI).

Bisnis.com, JAKARTA - Pengembangan jet tempur kolaborasi Indonesia dan Korea Selatan (Korsel), yaitu KF-21 Boramae menjadi sorotan publik hingga saat ini. Selain memiliki sejarah panjang, proyek bernilai triliunan rupiah tersebut ternyata terganjal beberapa masalah.

Proyek KF-21 Boramae, yang disebelumnya dikenal dengan nama KFX/IFX, sudah dimulai sejak 2009 atau saat kepemimpinan Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Kerja sama tersebut dimulai setelah pemerintah RI dan Korsel menandatangani letter of intent (LOI) pada 6 Maret 2009.

Pengerjaan jet tempur KF-21 Boramae terdiri dari tiga tahapan. Pertama, tahap pengembangan teknologi (TD) 2011-2016. Kedua, tahap pengembangan prototipe (Engineering Manufacture Development/EMD) 2016-2026. Ketiga, tahap produksi yang dimulai pada 2026 hingga seterusnya.

Sekjen Kementerian Pertahanan periode 2010-2013 Marsdya TNI (Purn) Eris Herryanto mengatakan saat ini Indonesia-Korsel tengah menjalani tahap kedua atau pengembangan prototipe KF-21 Boramae.

Setelah joint development yang dimulai sejak 2011, dia menambahkan kerja sama KF-21 Boramae meningkat pada tahap engineering manufacturing development phase.

"Namun, ini agak mundur karena dua tahun terakhir terjadi pandemi Covid-19," ujarnya dalam workshop daring bertajuk '11 Years and Counting: Assessing Indonesia-Korea Defense Cooperation yang digelar oleh Foreign Policy Community of Indonesia (FPCI) dan Korea Foundation beberapa waktu lalu.

Eris mengatakan ada tiga kegiatan yang dilakukan pada tahap kedua, yaitu engineering design and analysis, prototyping, serta flight test dan sertifikasi. Hasilnya, prototipe jet tempur KF-21 Boramae telah lulus uji terbang atau flight test tahap kedua pada akhir September 2022.

Namun, Terjadi beberapa kendala pada tahap EMD yang sudah dimulai sejak 2016. Kendala tersebut, kata dia, mulai dari masalah pendaraan atau cost share agreement, limitasi teknologi, hingga sumber daya manusia. 

Berikut 3 hambatan yang mengganjal proyek jet tempur RI-Korsel KF-21 Boramae

1. Pendanaan (Cost Share Agreement)

Pengembangan jet tempur KF-21 Boramae merupakan kerja sama bilateral antara pemerintah Indonesia dan Korsel. Kedua negara sepakat untuk mendanai proyek tersebut. Eris mengatakan Indonesia diwajibkan untuk menanggung 20 persen dari total biaya atau sekitar Rp24,8 triliun yang dibagi menjadi beberapa tahap.

Fase joint development sebesar Rp100 miliar, fase EMD sebesar Rp20 triliun, fase technology readiness sebesar Rp700 miliar, dan fase operasional dan infrastruktur Rp4 triliun.

Dia menuturkan masalah muncul lantaran pemerintah Indonesia menunda pembayaran share cost pada fase EMD yang sudah disepakati bersama.

"Pemerintah Indonesia mengevaluasi proyek ini selama dua tahun, yaitu 2018-2019. Saat itu, masih masuk di fase evaluasi oleh kita dan Korsel. Sementara Korea tetap menjalankan program," imbuhnya.

Pengembangan KF-21 Boramae memiliki landasan hukum Peraturan Presiden No 136/2014 tentang Program Pengembangan Pesawat IFX. Aturan lainnya, yaitu Peraturan Menteri Pertahanan No 6/2016.

Menurutnya, pendanaan proyek KF-21 Boramae saat ini bukan tanggung jawab Kemenhan RI, tetapi komitmen pemerintah pusat.

"Saat itu, share cost [KF-21] dialokasikan ke Kemhan dan karena kebutuhan lain atau dimanfaatkan untuk kepentingan lebih penting. Akibatnya, Kemenkeu tidak bersedia mengganti sampe ada perintah dari Presiden, itu kenapa kita gak bayar cost share," jelasnya.

Permasalahan pendanaan tersebut juga menjadi sorotan publik Korsel. Pasalnya, beberapa media Korsel mempertanyakan komitmen Indonesia dalam proyek pembuatan jet tempur canggih tersebut.

Media massa Korsel mencatat bahwa pemerintah Indonesia menunggak US$67 dari total pembayaran US$1,3 miliar dolar AS kepada Korsel. Penunggakan disebabkan masalah keuangan yang dihadapi Indonesia.

Menanggapi hal itu, First Director General for the KFX Program Group dari Defense Acquisition Program Administration (DAPA) Jung Kwang-sun mengatakan masalah pembayaran cost share memang menjadi sorotan publik Korsel.

"Yang menjadi kekhawatiran bagi media massa dan masyarakat di Korsel, yaitu soal penunggakan pembayaran portion dari Indonesia. Selain itu, perluasan infrastruktur atau fasilitas produksi massal di Indonesia masih belum dilakukan," ujarnya di dalam workshop yang diselenggarakan FPCI dan Korea Foundation.


2. Limitasi Teknologi

Dalam kerangka kerja sama tersebut, Korsel berkomitmen untuk memberikan 129 teknologi kunci pembuatan jet tempur KF-21 Boramae kepada Indonesia. Sayangnya, hal tersebut tidak bisa dilakukan sepenuhnya.

Eris mengatakan limitasi teknologi terjadi lantaran Korsel juga menggunakan teknologi daru militer Amerika Serikat. Menurutnya, pembatasan tersebut berdampak pada proses transfer teknologi atau export license.

Menurutnya, pemerintah AS tidak memberikan export license kepada Indonesia dalam bentuk LRU. AS tidak memberikan 4 teknologi untuk Korsel-RI dan 9 teknologi kunci kepada Indonesia.

"Ini tentu saja menjadi hambatan dalam kerja sama RI-Korsel dalam pengembangan KF-21," ucapnya.

Dia menambahkan pihak Kementerian Pertahanan Korsel sebenarnya berencana memaksimalkan transfer teknologi KF-21 Boramae kepada Indonesia. Namun, rencana tersebut tidak akan bisa terlaksana apabila tak ada export license dari AS.

Sementara itu, Jung Kwang-sun pihak Korsel sebenarnya sudah mengetahui hambatan terkait export license. Oleh karena itu, dia mengatakan pihaknya akan mencari solusi bagi Indonesia untuk tetap bisa mendapatkan teknologi kunci jet tempur KF-21 Boramae. Menurutnya, salah satu solusinya dengan tidak memberikan teknologi tersebut secara langsung.

"Pihak Korsel bisa memberikan pengalaman teknologi kunci atau LRU melalui sejumlah pendidikan, training, seminar, on the job training agar teknisi Indonesia bisa memiliki pengalaman untuk menguasai teknologi kunci," katanya.


3. Sumber Daya Manusia

Hambatan terakhir yang dihadapi RI dalam pembuatan KF-21 Boramae, yakni sumber daya manusia (SDM). Eris mengatakan partisipasi Indonesia difokuskan pada dua hal, yaitu engineering work package (EWP) dan aircraft component manufacturing (ACM).

Jika mengacu pada perjanjian di fase EMD, Indonesia seharusnya mengirimkan 85 teknisi joint development area (JDA) dan 31 personel untuk bagian join manufacturing area (JMA).

Meski demikian, komitmen pengiriman teknisi tersebut terkendala karena pemerintah Indonesia masih melakukan peninjauan atau review terkiat pembiayaan atau cost share. Hambatan lainnya, kata dia, jumlah teknisi yang dikirim ke Korea juga berkurang akibat pandemi Covid-19.

"Menurut saya, pemerintah Indonesia harus kejar keterlambatan agar sesuai dgn perjanjian awal. Hambatan muncul gara-gara cost share dan covid-19, pada kenyataannya kita sudah tertinggal. Hal ini harus dibicarakan dengan Korsel gimana mengejar ketertinggalan ini," ucap Eris.

Senada dengan Eris, Jung Kwang-sun mengamini adanya hambatan terkait terus berkurangnya jumlahnya partisipasi atau sumber daya manusia, khususnya saat pandemi Covid-19. Pasalnya, pemerintah Korsel memandang penting kerja sama dan partisipasi teknisi secara langsung dan berjalan sesuai rencana.

"Korsel ingin banyak teknisi Indonesia berpartisipasi untuk mendukung produksi massal KF-21," imbuhnya.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper