Bisnis.com, JAKARTA - Kerja sama antara Indonesia dan Republik Korea Selatan (Korsel) bukan hanya sebatas ekonomi dan hiburan, tetapi industri pertahanan. Kini, RI-Korsel tengah mengembangkan prototipe pesawat jet tempur yang diberi nama KF-21 Boramae.
Prototipe jet tempur KF-21 Boramae atau KFX/IFX telah lulus uji terbang atau flight test tahap kedua pada akhir Juli 2022. Keberhasilan flight test dari KF-21 Boramae merupakan bentuk nyata keberhasilan pengembangan pesawat tempur ini. Momen tersebut merupakan sebuah progres yang sudah lama ditunggu, baik oleh pemerintah Indonesia maupun Korsel.
Bahkan, Wakil Menteri Pertahanan Republik Indonesia (Wamenhan RI) M. Herindra mengaku optimis bahwa suatu saat kelak KF-21 Boramae akan menjadi bagian dari sistem pertahanan udara Indonesia
Lantas, bagaimana seluk-beluk proyek jet tempur KF-21 Boramae yang diproduksi oleh RI-Korsel?
Sekjen Kementerian Pertahanan periode 2010-2013 Marsdya TNI (Purn) Eris Herryanto mengungkapkan kerja sama Indonesia-Korsel dalam bidang pertahanan memiliki sejarah yang cukup panjang. Hubungan kedua negara dalam bidang pertahanan dimulai dari penandatanganan letter of intent (LOI) pada 6 Maret 2022.
"[LOI] ditandatangani di Istana Merdeka, di hadapan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Presiden Lee Myung-bak, yang tanda tangan Sekjen Kemenhan. Kemudian setelah 2009 penandatanganan itu, meningkat ke Memorandum of Understanding pada 15 Juli 2010," ujarnya dalam workshop ketiga Indonesian Next Generation Journalist Network on Korea yang digelar Foreign Policy Community of Indonesia (FPCI) dan Korea Foundation yang digelar beberapa waktu lalu.
Eris melanjutkan pada April 2022, telah disepakati Project Agreement (PA) untuk tahap Technology Development (TD) atau Pengembangan Pesawat Tempur KFX/IFX oleh Kemhan RI dan Kementerian Pertahanan Korsel atau DAPA ROK.
Pada 6 ktober 2014, RI-Korsel sepakat untuk memulai tahap Engineeering and Manufacturing Development (EMD) Pengembangan Pesawat Tempur KFX/IFX.
Eris mengungkapkan tahapan terpenting dalam proyek pengembangan jet tempur KFX/IFX yang kini dikenal dengan sebutan KF-21 Boramae.
"Momen yang paling penting buat itu pada 17 Oktober 2014 keluar Peraturan Presiden I No. 136 Tahun 2014 tentang Program Pengembangan Pesawat IFX. Ini penting karena seharusnya semua kementerian terlibat," jelasnya.
Setelah itu, Kementerian Pertahanan menunjuk PT Dirgantara Indonesia (PTDI) sebagai Indonesia Industry Participant (IIP) dalam pelaksanaan program KFX/IFX. Penunjukkan PTDI mengacu pada Surat Kabalitbang Kemhan No. B/2021/X/2014.
Selajutnya, kata Eris, pada 7 Januari 2016 disepakati Cost Share Agreement (CSA) tahap Engineering Manufacturing Development untuk pengembangan pesawat tempur KFX/IFX.
Di saat bersamaan, PTDI dan KAI meneken Work Assignment Agreement (WAA) tahap Engineering Manufacturing Development pesawat tempur KFX/IFX.
Pada tahap akhir atau tepatnya pada 11 Februari 2016, Kemenhan mengeluarkan dasar hukum berupa Peraturan Menteri Pertahanan No 6 Tahun 2016 tentang Program Pengembangan Pesawat Tempur IFX.
Setelah melewati tahapan yang panjang tersebut, Indonesia dan Korsel secara resmi memulai program pengembangkan jet tempur KF-21 Boramae.
Eris menuturkan spesifikasi jet tempur yang disepakati kedua negara, yaitu pesawat tempur generasi 4,5 dengan kemampuan, antara lain semi-stealth, smart avionics with sensor fusion, beyond and within visual range weapon system, highly manuverable, dan interoperability concept.
Dengan adanya kerja sama dengan korea, dia mengatakan tentunya Indonesia ingin bisa menaikkan kemampuan dalam menguasai pesawat tempur khususnya generasi 4,5. Salah satu caranya dengan meningkatkan techonology readiness level.
"Untuk kemampuan produksi, Indonesia menginginkan jadi supplier bagi komponen pesawat KFX/IFX. Sesuai UU, kita seharusnya dalam melakukan operasional terhadap pesawat mampu melakukan MRO [maintenance, repair, operation], dan kita juga mengharapkan mampu bisa memodifikasi dan upgrade pesawat yang dikerjakan bersama Korsel," katanya.
Khusus pesawat KF-21 Boramae, ada beberapa perbedaan yang sesuai keinginan Indonesia. Dia memberikan contoh, misalnya landasan di indonesia 1.800 meter panjangnya, maka memerlukan drag chute.
"Karena wilayah Indonesia 5.100 lebarnya memerlukan external fuel tank dan air refueling untuk bisa cover seluruh wilayah. Hal ini diharapkan bisa kita kuasai dalam kerja sama ini," pungkasnya.
Tantangan dalam Proyek KF-21 Boramae
Eris mengungkapkan ada beberapa tantangan yang dihadapi Indonesia dalam proyek pembuatan jet tempur KF-21 Boramae dengan Korsel.
Pertama, dia mengatakan bahwa pemerintah Indonesia tak mendapatkan salinan kontrak kerja sama antara pemerintah Korsel dengan Korea Aerospace Industries Ltd.(KAI) dan Korea Aviation Obstruction Light Co.,Ltd (KAL) saat pelaksanaan tender.
Eris mengungkapkan saat itu pihak ikut lelang adalah KAI dan KAL, dimana akhirnya tender tersebut dimenangkan oleh KAI. Dia mengatakan KAI menjadi pemegang kontrak dari pemerintah Korsel untuk pengembangan KFX/IFX.
"Masalahnya Indonesia tidak pernah dapat copy [salinan] isinya apa dari kontrak tersebut sehingga waktu tanda tangan cost share agreement dengan KAI. Menurut saya, ini tidak satu level, harusnya kita berhubungan dengan pemerintah Korea," imbuhnya.
Meski demikian, hal tersebut tetap dilakukan karena KAI sdh mendapat hak kontrak dari pemerintah Korea melaksanakan kesepakatan dengan pemerintah Indonesia.
Hambatan kedua, lanjutnya, terkait suksesi di pemerintah di Korea Selatan. Eris mengatakan pihak Korsel sempat menunda kerja sama lantaran pergantian Presiden Lee Myung-bak ke Park Geun-hye pada 2012.
"Saat itu, pergantian pemerintahan di korea harus diajukan kepada parlemen utk mendapatkan izin.[Proyek ini] baru dimulai setelah hampir 18 bulan kita tidak melakukan kegiatan itu," ungkapnya.
Ketiga, Eris mengatakan ada permasalahan terkait penundaan pembayaran cost share agreement untuk proyek yang ditotal mencapai Rp24,8 triliun atau 8 miliar won.
Seperti diketahui, pemerintah Korea menanggung 60 persen pembiayaan proyek KF-21 Boramae dan sisanya wajib dibayarkan oleh pemerintah Indonesia dan KAI masing-masing 20 persen.
Menurutnya, hal yang menjadi masalah yakni alokasi anggaran proyek KF-21 yang berdasarkan Keppres tidak bisa diubah untuk kepentingan Kementerian, yakni Kementerian Pertahanan.
Terakhir, dia mengungkapkan tahapan di dalam kegiatan joint development harus molor lantaran pandemi Covid-19 yang melanda dunia dalam 2 tahun terakhir. Padahal, Indonesia dan Korsel berkomitmen untuk memulai produksi jet tempur KF-21 Boramae setelah 2026.
"Pemerintah Indonesia harus kejar keterlambatan agar sesuai dengan perjanjian awal. Hambatan akibat cost share dan Covid-19 harus dibicarakan dengan pihak Korsel bagaimana mengejar ketertinggalan ini," katanya.