Bisnis.com, JAKARTA - Baru-baru ini muncul isu pemutusan hubungan kerja (PHK) massal di sektor manufaktur, khususnya di industri tekstil dan produk tekstil (TPT), yang memicu desakan agar pemerintah membatasi impor.
Ekonom Universitas Indonesia Fithra Faisal Hastiadi menilai pembatasan impor tekstil bukan merupakan jawaban atas masalah sektor industri tekstil nasional. Dia membeberkan, masalah tekstil Indonesia adalah terkait kehilangan daya saing.
Di sisi lain, menurutnya, partisipasi ke belakang (backward) pasar Indonesia sangat tertutup sehingga akses bahan baku terhambat dan berdampak ongkos input yang mahal.
“Akibatnya, kita tidak bisa bersaing, misalnya dengan Vietnam. Mereka terbuka dari pasar input pasar produksinya. Jadi itulah road cost-nya. Kemudian mencoba mengatasi dengan proteksi, justru ini akan menjadi celaka berbalas celaka,” ujar Fithra dalam diskusi virtual, dikutip Kamis (10/11/2022).
Fithra mengatakan, apabila pemerintah menutup impor bahan baku industri tekstil atau menutup produk tekstil, dua-duanya akan berdampak tidak sehat.
“Apakah kita tidak takut bahaya retaliasi dari trade partner kita dan itu akan menghukum lebih industri kita. Jadi pemerintah harus melihatnya secara tidak parsial dan lebih komprehensif,” tutur eks Juru Bicara Kementerian Perdagangan itu.
Baca Juga
Yang perlu dilakukan, kata Fithra, yaitu pemerintah memberikan insentif baik dari sisi hilir, yaitu membuka akses impor baku jika ada permintaan dan insentif untuk mengurangi beban produsen. Menurutnya, akan lebih baik jika yang disubsidi adalah industri, bukan hanya dari sisi pekerja. Hal tersebut, kata Fithra, agar menjaga eksistensi industrinya sendiri.
“Ada enggak duitnya? Ada. Kemarin ada dari penyesuian harga BBM ada Rp196 triliun bisa dimasukkan dari sisi suplai. Kemudian wish competitions ini best practice itu adalah industrinya dikasih. Bukan kemudian fokus ke tenaga kerja kalau Rp3,5 juta ditambah Rp600.000, itu oke sih. Tapi yang lebih best practice dan Eropa itu stimulus ke industrinya supaya menjamin tempat kerjanya, tetap eksis,” ungkap Fithra.
Terkait munculnya isu gelombang PHK, Faisal meragukan terjadi PHK massal. Menurutnya hal tersebut tidak sesuai dengan data yang ada, yakni bahwa justru terjadi pengurangan pengangguran sebesar 700.000 orang.
“Ini mungkin bukan gelombang [PHK] tapi pake istilah Bung Karno riak-riak di tengah samudera. Memang ada pengangguran di sektor tapi saya rasa belum pas lah disebut gelombang,” ungkap Fithra.
Sebelumnya, pelaku usaha tekstil dan produk tekstil berharap pemerintah dapat membuka ruang untuk bisa menggarap pasar domestik melalui pembatasan impor. Hal ini karena permintaan ekspor mengalami penurunan dan diprediksi berlanjut hingga tahun depan. Penurunan permintaan ekspor disebabkan oleh kondisi ekonomi dunia yang melambat, bahkan diperkirakan resesi tahun depan. Akibat permintaan yang turun, produksi tekstil dalam negeri melemah dan berdampak pada PHK.
Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Jemmy Kartiwa Sastraatmaja berharap pemerintah dapat memberlakukan pembatasan impor TPT. Ini diperlukan agar setidaknya industri TPT di Tanah Air dapat bertahan dan tak masif melakukan PHK.
"Kami sangat berharap produsen tekstil Indonesia bisa diberikan ruang untuk berjualan di tahun depan. Itu pun jika tidak ada serbuan dari produk impor. Dalam negeri ini juga ada tantangan karena produsen tekstil dunia juga membidik pasar Indonesia yang besar. Thrifting ini jadi ancaman juga bagi kita. Jadi, pengendalian impor itu sangat kami harapkan," ujarnya, Minggu (30/10/2022).