Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Investor Hulu Cemas Soal Kebijakan Harga Gas Industri, Ini Respons SKK Migas

Kebijakan harga gas bumi tertentu untuk tujuh sektor industri dan kelistrikan yang dipatok US$6 per MMBtu dinilai membuat investasi hulu migas kurang menarik.
Platform migas lepas pantai. Istimewa/SKK Migas
Platform migas lepas pantai. Istimewa/SKK Migas

Bisnis.com, JAKARTA — Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) melaporkan terdapat enam kasus ketidakcukupan penerimaan negara dari enam wilayah kerja minyak dan gas (migas) selama 3 tahun terakhir. Hal itu lantaran tingginya harga jual gas dari kontrak awal yang disepakati.

Vice President Lingkungan Deputi Keuangan dan Monetisasi SKK Migas Rayendra Sidik mengatakan, pemerintah mesti mengurangi penerimaan negara yang diperhitungkan melalui bagi hasil sesuai kontrak kerja sama untuk tetap menjaga pengembalian investasi Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) saat ongkos produksi naik tajam saat itu.

“Si kontraktor itu kan, dia enggak mau turun penerimaannya karena mereka ada minimal return yang mereka ambil saat investasi itu dilakukan,” kata Rayendra saat Forum Diskusi Indonesian Gas Society, Jakarta, Rabu (26/10/2022).

Adapun, pemerintah mengurangi penerimaannya pada WK Sebuku, Muara Bakau & WK Rapak, WK NSO dan WK Ketapang sepanjang 2021. Sementara pada tahun ini, pemerintah mengurangi penerimaannya untuk WK Tangguh dan WK Ketapang. 

“WK Tangguh dan WK Ketapang ini disebabkan karena harga minyak yang naik sehingga harga jual sesuai kontrak itu lebih tinggi dari tahun sebelumnya ini yang jadi pertimbangan,” kata dia. 

Menurut dia, skema pengurangan bagian penerimaan negara akan diambil juga saat kontraktor merasa ongkos produksi gas mereka lebih mahal dari kebijakan harga jual gas tertentu (HGBT) yang dipatok US$6 per million British thermal units (MMBtu). 

Kendati demikian, dia mengatakan, skema HGBT itu diharapkan dapat memberi tolok ukur harga yang adil untuk pengembangan rantai pasok industri dari hulu hingga hilir di dalam negeri. Dia berpendapat HGBT dapat menjadi panduan untuk penetapan harga yang kompetitif antara industri di tingkat hulu serta turunannya. 

“Kami juga tidak membiarkan internal rate of return-nya [IRR] tinggi sekali, ini akan jadi benchmark karena ada juga beberapa kontraktor yang IRR-nya rendah sekali, intinya kita terbuka untuk diskusi,” tuturnya. 

Sebelumnya, Indonesian Petroleum Association (IPA) mengkhawatirkan implementasi kebijakan pemerintah terkait dengan HGBT yang dipatok US$6 per MMBtu dapat mengoreksi minat investasi hulu industri migas di Indonesia. 

Chairman LNG & Gas IPA Joe Frizal menuturkan, kebijakan itu belakangan justru menimbulkan kekhawatiran di kalangan pelaku usaha hulu migas yang terlihat dari rendahnya capaian investasi di sektor tersebut. 

“Ada ketakutan dari sisi hulu bahwa harga gas yang baru itu bukan lagi bisnis ke bisnis,” kata Joe.

Sebagian besar investor hulu, kata Joe, khawatir apabila kebijakan HGBT itu turut menentukan harga jual-beli gas di hulu sebelum disalurkan pada industri penggunaan atau hilir. Menurut dia, hal itu akan membuat investasi hulu Migas yang mahal di Indonesia tidak lagi menarik.

“Dari pertemuan internal kita itu ada semacam ketakutan dari investor upstream bahwa bagaimanapun harga gas itu nanti di plant gate-nya akan jadi US$6 per MMBtu, saya takut investasi di Indonesia jadi kurang menarik,” tuturnya. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper