Bisnis.com, JAKARTA – Saat ini, masyarakat tengah dihebohkan dengan fenomena ancaman resesi 2023. Bank Dunia bahkan meminta masyarakat global untuk mewaspadai kondisi stagflasi yang diisukan bakal terjadi.
Dilansir dari europenews, Minggu (23/10/2022), pertemuan tahunan Dana Moneter Internasional dan Bank Dunia di Washington mengumumkan bahwa pertumbuhan ekonomi global akan melambat menjadi 2,7 persen di tahun depan setelah publikasi 'Laporan Ekonomi Dunia'.
Tak hanya itu, Bank Dunia juga mengatakan bahwa ekonomi di Inggris tampaknya akan melambat tajam lantaran (stagflasi) terdapat lonjakan inflasi dan memaksa Bank Inggris untuk menaikkan suku bunga dengan cepat.
Bahkan ketika aktivitas terhenti, untuk tahun 2023 mendatang, pertumbuhan ekonomi Inggris diproyeksikan hanya 0,3 persen.
Kepala Penasihat Ekonomi Inggris Vicky Pryce, mengatakan bahwa fenomena ini tentu mengkhawatirkan. Tak hanya di Inggris, namun mengkhawatirkan masyarakat dunia.
"Jadi secara umum, tentu saja apa yang kita lihat di Inggris dalam beberapa bulan terakhir adalah pengetatan kebijakan moneter dan fiskal yang mencoba mengendalikan inflasi," Kata Pryce.
Di tengah kekhawatiran masyarakat Indonesia akan ancaman resesi 2023, seorang Akademisi dan Praktisi Bisnis Rhenald Kasali, mengatakan bahwa kekhawatiran generasi muda dalam menggambarkan resesi yang ramai beredar di sosial media justru terlalu berlebihan.
"Anak muda saat ini tengah membicarakan resesi 2023, semuanya dijabarkan secara menakutkan. Katanya akan ada PHK massal, perusahaan akan bangkrut, yang miskin makin miskin," kata Rhenald Kasali, dikutip dari video yang di unggah di akun Instagram pribadinya.
"Akibatnya banyak orang percaya untuk menghadapi resesi maka perlu tahan cash, kurangi SDM dan potongan budget marketing. kacau balau, bukan seperti itu cara menghadapi resesi justru hal tersebut akan membuat stagflasi," lanjutnya.
Lantas, sebenarnya apa arti stagflasi itu sendiri dan apa yang penyebabnya? Simak penjelasan lengkapnya sebagai berikut.
Pengertian Stagflasi
Sebelumnya, perlu diketahui terlebih dahulu bahwa inflasi merupakan istilah luas yang mengacu pada kenaikan harga yang dibayar konsumen untuk barang dan jasa seperti yang didefinisikan oleh Indeks Harga Konsumen, atau CPI.
Namun, kata 'Inflasi' hanya menggambarkan kenaikan harga, tidak ada hubungannya dengan hal-hal seperti pengangguran atau pertumbuhan produk domestik bruto (PDB).
Sementara itu, Stagflasi merupakan jenis inflasi yang disertai dengan pertumbuhan PDB yang lambat atau stagnan.
Stagflasi juga disertai dengan pengangguran yang meningkat. Dengan kata lain, stagflasi mengacu pada kombinasi kondisi ekonomi, bukan hanya satu.
Penyebab Stagflasi
Penyebab umum stagflasi adalah adanya peningkatan yang cepat dalam jumlah uang beredar atau ketidakseimbangan dalam penawaran dan permintaan.
Peningkatan pesat dalam jumlah uang beredar dapat menyebabkan permintaan konsumen melonjak lebih cepat daripada yang dapat dipertahankan oleh penawaran. Secara umum, ini adalah penyebab potensial utama stagflasi.
Dampak dari adanya stagflasi dinilai sangat membahayakan. Stagflasi dapat menekan pertumbuhan ekonomi dengan sangat hebat, berdampak pada tingginya tingkat pengangguran.
Peningkatan taraf pengangguran di sebuah negara akan berdampak pada penurunan daya beli konsumen. Jika hal ini tidak dapat dikendalikan, stagflasi dapat mengakibatkan merosotnya nilai tukar uang sebuah negara.
Sejarah Stagflasi
Istilah Stagflasi pada mulanya diciptakan pada tahun 1960-an, ketika seorang politisi di House of Commons Inggris menggambarkan kombinasi stagnasi pekerjaan dan harga yang meningkat.
Kemudian, ketika AS memasuki resesi pada 1970-an, negara itu mengadopsi konsep stagflasi untuk menggambarkan situasinya.
Terjadinya stagflasi di Amerika Serikat tahun 1970 itu terjadi karena adanya 'Skandal Watergate' pada masa pemerintahan Presiden Richard Nixon. Adanya keterlibatan Amerika Serikat dalam Perang Vietnam, dan empat kali lipat harga minyak menyebabkan rantai peristiwa yang menyebabkan pasar saham anjlok sementara harga naik lebih tinggi.