Bisnis.com, JAKARTA — Perekonomian global diliputi oleh situasi sulit dan ketidakpastian yang tinggi, terutama pada tahun depan. Sejumlah lembaga internasional memperkirakan perekonomian global pasti akan mengalami resesi pada 2023.
Krisis atau resesi ekonomi dipicu oleh pengetatan kebijakan moneter global sebagai respons untuk mengatasi inflasi yang melonjak, juga krisis pangan dan energi yang terus berlangsung akibat perang Rusia vs Ukraina.
Dua mantan Menteri Keuangan RI, yaitu Agus Martowardojo dan M. Chatib Basri buka-bukaan soal situasi perekonomian dunia yang diliputi "awan gelap" serta berpotensi mengalami krisis dalam acara SOE International Conference, Selasa (18/10/2022).
M. Chatib Basri menyampaikan bahwa perekonomian dunia saat ini telah menunjukkan tren melambat. Menurutnya, bahkan dalam situasi saat ini, tidak mengherankan jika perekonomian Amerika Serikat akan mengalami resesi, menyusul langkah agresif oleh bank sentral negara itu.
Dia memprediksi The Fed masih akan melanjutkan menaikkan suku bunga sebesar 75 basis poin dan 50 basis poin lagi pada pertemuan FOMC berikutnya.
“Yang sering dilupakan kebijakan moneter memiliki efek lag. Jadi jika The Fed tidak melihat dampak dari kenaikan suku bunga ini saat ini, mungkin dampaknya akan terjadi enam bulan dari sekarang. Jadi implikasinya adalah kontraksi dari kebijakan moneter global yang mungkin jauh lebih sulit dari yang kita duga,” katanya.
Menurutnya, resesi ekonomi juga mengancam negara di Eropa. Permasalahannya, Rusia membatasi pasokan gasnya ke Jerman. Hal ini akan berimplikasi pada sektor manufaktur Jerman yang diperkirakan akan ambruk.
"Jika melihat Indeks Harga Produsen, sudah sekitar 46 persen di Jerman sekarang, dan jika Jerman masuk ke dalam resesi, maka Uni Eropa juga akan masuk ke dalam resesi,” jelasnya.
Pada kesempatan yang sama, Menkeu era kabinet Indonesia Bersatu jilid II Agus Martowardojo memperkirakan resesi yang dihadapi global kemungkinan dangkal.
Meski demikian, dia menilai resesi berlangsung dalam jangka waktu yang lebih lama, mengingat ketidakpastian yang sangat tinggi.
"Ada beberapa faktor yang memicu perekonomian global masuk ke dalam situasi ini. Pertama, percepatan inflasi yang disertai dengan pertumbuhan PDB riil yang lebih lambat atau bahkan negatif," ujar mantan Gubernur Bank Indonesia tersebut.
Kedua, kondisi keuangan global yang ketat karena bank sentral dalam posisi fokus memerangi inflasi. Ketiga, dolar Amerika Serikat akan terus menguat dalam skala global, karena kenaikan suku bunga akan bergerak lebih cepat.
Keempat, stimulus fiskal yang akan lebih terbatas, dan kelima, ketegangan geopolitik, serta China yang saat ini berada dalam posisi lemah. Hal ini menambah prospek negatif bagi perekonomian global.
"Situasi sulit tersebut sangat menantang bagi negara berkembang dalam menjaga stabilitas dan mengatasi volatilitas nilai tukar di tengah kondisi keuangan global yang semakin ketat," imbuhnya.
Dia menilai negara dengan kerentanan eksternal yang rendah dan buffer yang lebih kuat berada dalam posisi yang lebih baik untuk mengelola risiko akibat kondisi keuangan global yang lebih ketat.
Menurutnya, Indonesia saat ini berada dalam posisi yang cukup kuat untuk menghadapi tekanan dari sisi global. Dampak dari pengetatan kebijakan AS terhadap perekonomian domestik pun sejauh ini cukup terjaga.
“Pasar domestik kita secara keseluruhan telah menunjukkan ketahanan, sebagian mencerminkan fundamental Indonesia yang lebih kuat,” katanya.
Hal ini, imbuhnya, didasari oleh kondisi eksternal Indonesia yang kuat, tercermin dari posisi transaksi berjalan yang kuat dibandingkan tahun 2013, serta posisi cadangan devisa yang tetap tinggi.
Selain itu, tingkat inflasi di dalam negeri dinilai masih terjaga rendah, dibandingkan dengan banyak negara lainnya. Kepemilikan asing di SBN pun lebih rendah saat ini, sehingga sejumlah risiko dapat diatasi dengan baik.