Bisnis.com, JAKARTA — Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) membuka peluang PT Bukit Asam Tbk. (PTBA) untuk mengambil alih aset pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) berbasis batu bara milik PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) atau PLN lewat aksi korporasi perusahaan tambang batu bara pelat merah tersebut.
“Sebagai dua pemain energi yang nanti melihat opsi bagaimana kalau misalnya PTBA masuk menjadi salah satu investor untuk bisa mengambil alih pembangkit listrik berbasis batu bara,” kata Wakil Menteri BUMN I Pahala Nugraha Mansury saat meberikan keterangan persiapan acara SOE International Conference & Expo 2022: Driving Sustainable and Inclusive Growth, Minggu (16/10/2022).
Pahala mengatakan opsi itu diambil untuk mengurangi aset fosil yang terdapat pada portofolio perusahaan setrum milik negara tersebut. Di sisi lain, Pahala mengatakan, opsi itu turut menunjukkan komitmen Indonesia untuk segera beralih pada energi bersih saat ini.
“Skemanya sudah disiapkan tapi kan nggak bisa jalan kalau cuma ada investor baru dan PLN saja, harus didukung juga dengan green financing yang selama ini dijanjikan oleh negara barat,” kata dia.
Lewat skema itu, dia menegaskan, Indonesia sudah siap untuk melakukan pensiun dini PLTU lebih awal bekerja sama dengan mitra strategis milik pemerintah. Hanya saja, dia berharap, bantuan pendanaan dari negara barat serta sejumlah lembaga keuangan internasional dapat menopang komitmen pemadaman operasi pembangkit fosil tersebut secara bertahap.
“Indonesia sudah cukup siap dengan skema transaksi dengan upaya untuk bisa melakukan percepatan pengakhiran PLTU berbasis batu bara ini, kita harap pembiayaan yang disampaikan negara negara lain itu juga bisa,” tuturnya.
Baca Juga
Sebelumnya, PT Sarana Multi Infrastruktur (SMI) mengatakan mobilisasi pembiayaan untuk mendanai program pensiun dini PLTU batu bara masih sulit dilakukan hingga saat ini.
Direktur Pembiayaan dan Investasi PT Sarana Multi Infrastruktur Sylvi Juniarty Gani beralasan pembiayaan pada program itu dinilai terlalu berisiko bagi lender lantaran belum masuknya pensiun dini PLTU ke dalam taksonomi pembiayaan transisi energi.
“Tantangan dari pensiun dini PLTU dari perspektif pendanaan adalah lender potensial selalu melihat program ini terlalu riskan karena eksposur yang tinggi pada batu bara,” kata Sylvi dalam acara Indonesia Sustainable Energy Week (ISEW), Jakarta, Senin (10/10/2022).
Absennya pensiun dini dalam taksonomi hijau itu, kata Sylvi, belakangan ikut menyulitkan pemerintah untuk menarik pendanaan dari bank komersial untuk mempercepat program transisi energi mendatang.
Seperti diketahui, PLN tengah mendorong penghentian operasi PLTU berkapasitas 5,5 GW sebelum 2030 sebagai langkah awal perseroan memberi ruang untuk investasi hijau masuk ke sistem kelistrikan nasional. Manuver itu diperkirakan menelan investasi sebesar US$6 miliar atau setara dengan Rp89,3 triliun, kurs Rp14.890.
Hanya saja program penghentian PLTU seluruhnya hingga 2050 diproyeksikan bakal sulit dilakukan. Center for Global Sustainability University of Maryland memperkirakan kebutuhan dana yang perlu diamankan PLN mencapai US$32,1 miliar atau setara dengan Rp475,4 triliun, asumsi kurs Rp14.810.
Di sisi lain, PLN mesti menaikkan kapasitas serta ekosistem pembangkit EBT dengan nilai investasi menyentuh US$1,2 triliun atau setara dengan Rp17.772 triliun hingga 2050 mendatang.
“Ini bukan biaya yang kecil kita harus lihat kemampuan fiskal Indonesia seberapa jauh untuk menyerap ini. Siapa yang seharusnya mendanai ini apakah filantropi, multilateral, bilateral atau swasta tertarik untuk ikut masuk,” kata Direktur Keuangan dan Manajemen Risiko PLN Sinthya Roesly.