Bisnis.com, JAKARTA - Menteri Keuangan Sri Mulyani memperingatkan negara berkembang dan kurang berkembang akan menghadapi badai risiko dari kenaikan biaya energi dan krisis pangan pada 2023.
Kesulitan ini akan dibarengi dengan inflasi, penguatan dolar, dan kenaikan suku bunga acuan. Dengan Federal Reserve yang sangat agresif dalam pengetatan moneter, konsekuensinya tidak baik untuk negara berkembang dan akan membuat mereka lebih sulit untuk menerbitkan surat utang, katanya.
"Badai ini yang pasti sangat kuat. Negara berkembang dan kurang berkembang ada di situasi yang sangat serius, situasi yang sulit," ujar Sri Mulyani di Washington, saat wawancara dengan Bloomberg pada Rabu (12/10/2022).
Sekitar 15 negara berkembang mencatatkan surat utang pemerintah berdenominasi dolar dengan harga lebih dari 1.000 basis poin lebih tinggi dari US Treasuries.
Angka itu berada di atas ambang batas untuk utang yang dianggap tertekan dan jumlah negara sudah naik dua kali lipat dari awal tahun.
Sri Mulyani akan memimpin pertemuan Menteri Keuangan dan Bank Sentral G20 keempat. Dalam pertemuan terakhir kali pada April, sejumlah pejabat negara dari Amerika Serikat, Kanada, dan sejumlah negara Eropa walk out saat perwakilan dari Rusia mulai bicara.
Sementara itu, sejumlah negara menunjukkan ketangguhan yang kemungkinan tidak akan bertahan lama. Beberapa negara lainnya memerlukan pinjaman dari International Monetary Fund.
Dia mengungkapkan bahwa negara yang tidak bisa mendapatkan pupuk akan menghadapi kelangkaan makanan dalam 6 bulan ke depan, menjelang musim dingin yang akan lebih keras lantaran kenaikan harga energi.
Di balik ujian yang keras bagi ekonomi global, Sri Mulyani menggaris bawahi pentingnya Presidensi G20 Indonesia dan tetap melibatkan Rusia.
Salah satu kelebihan G20 vs G7, kelompok yang lebih kecil dan terdiri dari negara kaya, adalah kelompok ini memiliki keluasan untuk menangani permasalahan global.
Mengeluarkan satu negara akan berisiko pada fragmentasi dari ekonomi global yang dapat meningkatkan kesulitan dalam memecahkan masalah seperti perubahan iklim, meningkatkan inklusi keuangan atau mencapai kesepakatan penghapusan utang bagi negara miskin.
“Aset sebenarnya dan nilai sebenarnya dari G20 adalah, terlepas dari apa yang terjadi hari ini, dunia akan membutuhkan kerja sama semacam ini, dan forum ekonomi perdana seperti G20 ini layak untuk dilanjutkan, dipertahankan, dan dilestarikan,” tandasnya.