Bisnis.com, JAKARTA - Hasil Survei Badan Kebijakan Transportasi 2022 menemukan bahwa pengemudi ojek online atau Ojol mengaku pendapatan per hari pengemudi hampir sama dengan biaya operasionalnya.
Hasil survei tersebut dilakukan terhadap profil pengemudi yang didominasi oleh pria (81 persen) dengan usia terbanyak 20 – 30 tahun (40,63 persen). Adapun lama bergabung menjadi pengemudi ojek online terbanyak kurang dari 1 tahun (39,38 persen). Status sebagai pekerjaan utama 54 persen dan sebagai pekerjaan sampingan 46 persen.
"Pendapatan per hari pengemudi hampir sama dengan biaya operasionalnya. Terbanyak rata-rata pendapatan per hari Rp50.000 – Rp100.000 [50,10 persen] dan biaya operasional per hari terbanyak kisaran Rp50.000 – Rp100.000 [44,10 persen]," ujar Ketua MTI Bidang Advokasi dan Kemasyarakatan MTI Djoko Setijowarno, Senin (10/10/2022).
Tak hanya itu, survei memperlihatkan Aspek keselamatan belum menjadi perhatian utama dari pengemudi ojek online. Hal ini terlihat dari waktu operasi pengemudi yang belum memperhatikan aspek kelelahan yang akan berpengaruh terhadap keselamatan terlihat dari jam kerja yang didominasi 6-12 jam/hari (42,85 persen).
Djoko pun menilai sebetulnya bisnis transportasi daring bisnis gagal, drivernya kerap mengeluh dan demo. Sementara pengemudi ojek daring sebagai mitra tidak akan merasakan peningkatan pendapatannya karena tergerus oleh potongan-potongan fasilitas aplikasi yang sangat besar
Kegagalan bisnis transportasi daring sudah terlihat dari pendapatan yang diperoleh mitranya atau driver ojek daring. Sekarang, pendapatan rata-rata driver ojek daring di bawah Rp 3,5 juta per bulan dengan lama kerja 8 -12 jam sehari dan selama 30 hari kerja sebulan tanpa adanya hari libur selayaknya mengacu aturan ketenagakerjaan yang sudah diatur oleh Kementerian Tenaga Kerja.
Baca Juga
Pendapatan ojek daring rata-rata masih sebatas kurang dari Rp 3,5 juta per bulan. Hal ini tidak sesuai dengan janji aplikator angkutan berbasis daring pada tahun 2016 yang mencapai Rp 8 juta per bulan. Sulit rasanya menjadikan profesi pengemudi ojol menjadi sandaran hidup. Pasalnya, aplikator tidak membatasi jumlah pengemudi, menyebabkan ketidakseimbangan supply dan demand.
Bekerja tidak dalam kepastian, status keren sebagai mitra akan tetapi realitanya tanpa penghasilan tetap, tidak ada jadwal hari libur, tidak ada jaminan kesehatan, jam kerja tidak terbatas.
Jika ingin sebagai angkutan umum, otomatis segala persyaratan dan hal-hal yang berlaku bagi angkutan umum juga berlaku pula bagi sepeda motor yang berfungsi sebagai angkutan umum, seperti wajib melakukan uji berkala (kir), wajib dilengkapi perlengkapan, SIM C Umum, plat nomor kendaraan berwarna kuning, tarif ditetapkan perusahaan angkutan umum (bukan aplikator seperti sekarang) atas persetujuan pemerintah.
Dia mencontohkan kota Agats (Kab. Asmat) sejak 2011 sudah menerapkan ojek sebagai angkutan umum dan kendaraan pelat kuning. Kendaraan yang digunakan sepeda listrik, karena hampir 100 persen kendaraan di Kota Agats menggunakan kendaraan listrik. Kab. Asmat sudah memiliki Perda dan Perbup yang dapat mengatur ojek sebagai angkutan umum.
Jika pemerintah ingin melindungi warganya, dapat dibuatkan aplikasi dan diserahkan ke daerah untuk dioperasikan. Seperti halnya yang dilakukan Pemerintah Korea Selatan membuat aplikasi untuk usaha taksi. Dalam upaya untuk melindungi sopir taksi yang kebanyakan tidak berbahasa Inggris dan rata-rata sudah berusia tua.