Bisnis.com, JAKARTA — Bank Dunia memperingatkan kawasan Asia Timur dan Pasifik (East Asia and Pacific/EAP) untuk mewaspadai sejumlah hal, meskipun kawasan tersebut relatif tidak terpengaruh oleh krisis pangan yang tengah berlangsung akibat konflik di Ukraina.
“Bukti di lapangan dengan jelas menunjukkan bahwa kenaikan harga pangan membebani rumah tangga dengan beban yang berat dan regresif,” tulis Bank Dunia dalam laporan terbarunya, dikutip Selasa (27/9/2022).
Laporan Bank Dunia juga menunjukkan bagaimana rumah tangga mengatasi kenaikan harga pangan yang terjadi baru-baru ini dengan mengurangi konsumsi makanan yang lebih bergizi dan sehat.
Adanya pengurangan terhadap konsumsi makanan bergizi dan sehat jelas berpengaruh buruk terhadap gizi, terutama bagi perempuan, anak-anak, dan kelompok rentan lainnya.
Oleh karena itu, Bank Dunia melihat perlu adanya upaya untuk mengatasi sejumlah tantangan jangka panjang dalam rangka memperkuat ketahanan pangan di negara-negara Asia Timur dan Pasifik.
Tantangan pertama yang diungkapkan Bank Dunia adalah adanya ketidaksesuaian antara permintaan dan penawaran pangan.
“Permintaan pangan beralih dari beras karena konsumen semakin kaya, lebih sadar akan nutrisi, dan juga lebih urban. Namun, diversifikasi yang tidak memadai dalam produksi dalam negeri telah menyebabkan meningkatnya impor dalam kategori penting produk makanan, terutama daging dan jeroan, serta jagung dan kedelai,” bunyi laporan tersebut.
Kedua, adalah perubahan iklim yang menghadirkan risiko besar bagi ketahanan pangan negara-negara Asia Timur dan Pasifik.
Bank Dunia menjelaskan, sektor pertanian menjadi pelaku (kontributor utama perubahan iklim) sekaligus korban (salah satu sektor yang diprediksi akan terkena dampak paling parah) adanya perubahan iklim.
Dengan demikian, kebijakan ketahanan pangan perlu mengatasi fakta bahwa praktik pertanian saat ini dan perubahan penggunaan lahan mengorbankan basis sumber daya alam dan potensi produksi di masa depan.
“Bukti menunjukkan dampak negatif langsung dari perubahan iklim terhadap pertumbuhan produktivitas pertanian. Ada kebutuhan juga untuk mempromosikan investasi dalam adaptasi melalui teknologi baru dan praktik pengelolaan,” jelas Bank Dunia.
Ketiga, adalah kebutuhan untuk meningkatkan ketahanan terhadap guncangan bahan bakar dan pupuk.
Sebagaimana diketahui, kenaikan harga bahan bakar baru-baru ini telah memicu naiknya harga pupuk. Secara historis, harga pupuk memiliki pengaruh yang erat terhadap harga gabah.
Dalam jangka pendek, Bank Dunia menilai perlu adanya diversifikasi impor pupuk untuk mengamankan pasokan musim tanam mendatang.
Sementara dalam jangka panjang, kebijakan penggunaan pupuk secara optimal serta mengurangi intensitas bahan bakar pertanian dengan beralih ke pendekatan rendah karbon dan pertanian hijau, baik dalam produksi maupun distribusi pertanian perlu didorong.