Bisnis.com, JAKARTA - Asian Development Bank (ADB) menyebutkan perekonomian di kawasan Asia, khususnya negara-negara berkembang, akan suram hingga akhir 2022 dan 2023.
Berdasarkan laporan The Asian Development Outlook (ADO) 2022 yang dikutip Kamis (22/9/2022), ADB menurunkan proyeksi pertumbuhan PDB untuk negara berkembang di Asia menjadi 4,3 persen untuk 2022 dari proyeksi sebelumnya 5,2 persen dan menjadi 4,9 persen dari 5,3 persen untuk 2023.
Pasalnya, ADB menilai pemulihan ekonomi di kawasan Asia masih dihantui sejumlah tantangan, seperti invasi Rusia ke Ukraina yang telah meningkatkan ketidakpastian global dan mengganggu pasar energi dan makanan, pengetatan yang lebih agresif oleh The Fed dan bank sentral lainnya yang mengurangi permintaan global dan mengguncang pasar keuangan, hingga pertumbuhan ekonomi China yang melambat tajam.
Untuk pertama kalinya dalam lebih dari 3 dekade, negara berkembang lainnya di Asia akan tumbuh lebih cepat daripada China. Hal itu terjadi terakhir kali pada 1990, ketika pertumbuhan melambat menjadi 3,9 persen sementara PDB di wilayah lain meningkat sebesar 6,9 persen.
“Tidak termasuk China, negara berkembang lainnya di Asia diproyeksikan tumbuh sebesar 5,3 persen pada tahun 2022 dan pada tahun 2023,” dikutip dari laporan ADO 2022 yang dikutip, Kamis (22/9/2022).
Perekonomian China sekarang diharapkan dapat tumbuh sebesar 3,3 persen pada tahun ini atau turun daripada perkiraan sebelumnya akibat kebijakan kasus nol Covid-19 atau zero Covid policy yang diterapkan oleh Presiden China Xi Jinping. Hal itu menimbulkan masalah di sektor properti, dan permintaan eksternal yang lebih lemah sehingga terus membebani aktivitas ekonomi.
Baca Juga
Di samping itu, prakiraan inflasi direvisi naik, dari 3,7 persen menjadi 4,5 persen untuk 2022 dan dari 3,1 persen menjadi 4,0 persen untuk 2023 akibat harga energi dan pangan yang lebih tinggi. Oleh karena itu, ADB melalui laporannya menyarankan bank sentral regional untuk memastikan mereka tak tertinggal di belakang kurva.
Risiko terhadap outlook tetap tinggi. Perlambatan tajam dalam pertumbuhan global akan sangat melemahkan permintaan untuk ekspor Asia yang sedang berkembang, dan pengetatan kebijakan moneter yang lebih agresif dari negara maju dapat mengakibatkan depresiasi nilai tukar, ketidakstabilan keuangan, dan kesulitan neraca pembayaran di negara-negara dengan fundamental yang rentan.
“Eskalasi perang Rusia vs Ukraina dan dampaknya di pasar komoditas global akan semakin meningkatkan tekanan inflasi dan memperlambat pertumbuhan,” tulis ADB.
Selain itu, perlambatan yang lebih dalam di China akibat penguncian berulang dan masalah di sektor properti akan memengaruhi tidak hanya China, tetapi juga ekonomi yang terkait erat dengannya, melalui perdagangan dan rantai pasokan.
Risiko lainnya, termasuk kerentanan terkait utang di beberapa ekonomi, kerawanan pangan, ketegangan geopolitik, dan gangguan terkait perubahan iklim.