Bisnis.com, JAKARTA — Pemerintah menargetkan pertumbuhan ekonomi Indonesia sebesar 5,3 persen pada tahun depan. Ekonomi RI diprediksi tetap tumbuh, meskipun perekonomian dunia dihantui krisis.
Pada RAPBN Tahun Anggaran 2023, belanja negara diproyeksikan sebesar Rp3.041,7 triliun dan pendapatan negara diproyeksikan sebesar Rp2.443,6 triliun.
Dengan demikian, defisit APBN diproyeksikan mencapai 2,58 persen dari produk domestik bruto (PDB). Pemerintah mulai melakukan normalisasi dengan menetapkan target defisit kembali ke level pra-pandemi Covid-19, yakni di bawah 3 persen.
Dalam pidato kenegaraannya pada Selasa (17/8/2022), Presiden Joko Widodo menyampaikan bahwa tantangan yang akan dihadapi perekonomian dunia ke depan sangat berat.
Krisis kesehatan yang belum selesai akibat pandemi Covid-19, perang Rusia dan Ukraina menyebabkan terjadinya krisis pangan, krisis energi, bahkan krisis keuangan.
“Pertumbuhan ekonomi 2023 diperkirakan sebesar 5,3 persen. Kita akan berupaya maksimal dalam menjaga keberlanjutan penguatan ekonomi nasional,” kata Jokowi saat menyampaikan RUU APBN 2023 beserta Nota Keuangannya di Gedung Nusantara, Selasa (16/8/2022).
Baca Juga
Ekonom Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menilai pidato kenegaraan yang disampaikan oleh Jokowi terkesan optimistis, terutama dengan pertumbuhan ekonomi yang diperkirakan tumbuh 5,3 persen di tengah perlambatan ekonomi global.
Di samping itu, harga minyak mentah Indonesia di pasar dunia (ICP) diperkirakan sebesar US$90.
Menurutnya, angka tersebut mengindikasikan kenaikan harga komoditas masih akan memberikan windfall bagi pendapatan negara.
Namun demikian, jika melihat trennya, harga komoditas saat ini telah menunjukkan adanya penurunan dan hal ini dinilai akan menjadi tantangan ke depan.
“Jika terjadi resesi global, permintaannya turun, harga komoditas juga ikut mengalami penurunan. Itu menjadi salah satu tantangan sebenarnya,” katanya kepada Bisnis, Rabu (17/8/2022).
Di samping itu, Bhima mengatakan terdapat kontradiksi di mana pembangunan infrastruktur menjadi fokus utama pemerintah tahun depan.
Padahal, kenaikan inflasi masih menjadi ancaman bagi perekonomian Indonesia.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), angka inflasi tahunan Indonesia hingga Juli 2022 sudah menembus 4,94 persen. Angka ini merupakan capaian inflasi tertinggi sejak Oktober 2015.
Bhima mencatat Jokowi 11 kali menyebutkan infrastruktur dan 7 kali menyebut inflasi.
"Ini kontradiksi. Kalau inflasi menjadi salah satu tantangan utama, infrastruktur bulan solusi seharusnya, melainkan subsidi bantuan sosial, tapi bansos cuma disebut sedikit,” jelasnya.
Selain itu, Bhima menilai defisit APBN yang akan diturunkan ke bawah 3 persen juga menjadi tantangan sementara pembangunan infrastruktur menjadi prioritas.
Pemberian subsidi juga diperkirakan masih tinggi, sejalan dengan proyeksi ICP sebesar US$90.
“Saya khawatir kalau belanja subsidi dan infrastruktur didorong, di satu sisi ada tahun politik, yang mana belanja untuk persiapan Pemilu juga tidak kecil, dikhawatirkan penerimaan pajak yang akan didorong tinggi.
Sementara jika penerimaan pajak didorong tinggi, kalau targetnya basis pajak di dalam negeri, bisa menimbulkan kontraksi ekonomi,” jelasnya.
Eksekusi Belanja
Pada kesempatan berbeda, Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Yusuf Rendy Manilet berpendapat tidak mudah bagi APBN untuk mengeksekusi beberapa belanja yang diperlukan pada tahun depan.
“Seperti yang kita tahu APBN tahun depan mulai melakukan konsolidasi dan ini tentu memiliki konsekuensi dari pos belanja yang tidak akan sebesar 2 tahun sebelumnya atau ketika pandemi terjadi,” katanya ketika dihubungi Bisnis.
Meski demikian, Yusuf menilai APBN tetap menjadi salah satu instrumen penting dalam melanjutkan proses pemulihan ekonomi.
Namun, harus dipastikan APBN tersalurkan ke pos-pos belanja yang sifatnya bisa langsung memberikan efek multiplier terhadap perekonomian, misalnya belanja bantuan sosial, infrastruktur, dan belanja untuk insentif perpajakan.
“Kombinasi dari ketiga belanja ini saya pikir bisa menjadi cara bagi APBN untuk melanjutkan proses pemulihan ekonomi,” imbuhnya.
Di samping itu, dia mengatakan perlu menjadi perhatian pemerintah untuk mendorong proses pemulihan ekonomi.
Di sisi lain, dia mengatakan harus ada kepastian beragam program yang dijanjikan pemerintahan Presiden Jokowi di awal kepemimpinan bisa terwujud secara baik dan di waktu yang tepat.
Dia melanjutkan hal yang juga tidak boleh luput selain dari alokasi belanja adalah bagaimana pemerintah dalam mengeluarkan kebijakan APBN di tahun terakhir masa kepemimpinan.
"Ini menjadi tidak mudah karena umumnya ketika akan memasuki tahun politik kecenderungan APBN lebih kepada pos belanja yang sifatnya menguntungkan dalam jangka pendek saja,” kata Yusuf.