Bisnis.com, JAKARTA — Asosiasi Pertambangan Batu Bara Indonesia (APBI) meminta Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) untuk lebih teliti terkait dengan keputusan akhir menaikkan tarif royalti progresif perusahaan pemegang izin usaha pertambangan (IUP) batu bara di angka 4 hingga 13,5 persen di tengah fluktuasi harga komoditas ke depan.
Direktur Eksekutif APBI Hendra Sinadia mengatakan kenaikkan tarif royalti yang berlaku progresif itu bakal memberatkan sejumlah perusahaan di masa mendatang. Alasannya, tarif anyar itu bakal berlaku dalam kurun waktu yang panjang, sedangkan momentum harga saat ini masih dinamis mengikuti mekanisme pasar.
“Ini kan harga ga bertahan lama, bisa saja dia akan tertekan kalau harga mulai tertekan ini kan tarif yang diterapkan tinggi, itu akan sangat terasa nantinya,” kata Hendra saat dihubungi, Rabu (10/8/2022).
Di sisi lain, dia menggarisbawahi, biaya pokok produksi (BPP) pertambangan batu bara bakal terus mengalami kenaikkan setiap tahunnya. Tren itu ditopang oleh inflasi dan kondisi makro perekonomian yang ikut menekan margin dari usaha pertambangan emas hitam tersebut di masa mendatang.
“BBM naik terus, ini harus jadi bahan pertimbangan, inflasi segala biaya produksi meningkat, ini harus jadi pertimbangan. Kebetulan saja harga lagi bagus saat ini sehingga bisa ter-offset,” kata dia.
Sementara itu, dia menerangkan, sejumlah perusahaan bakal menghadapi dilema tersendiri untuk menyesuaikan diri dengan kenaikkan tarif royalti progresif tersebut. Alasannya, karakteristik perusahaan pemegang IUP relatif beragam dari sisi skala usaha dan cadangan batu bara yang dimiliki.
“Ada perusahaan yang skala besar, menengah, ada yang produksinya 30 juta setahun ada yang hanya 300.000 per tahun, cadangannya mungkin lebih dari 30 tahun ada yang hanya 3 tahun,” tuturnya.
Seperti diberitakan sebelumnya, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) telah merampungkan rancangan peraturan pemerintah atau RPP terkait dengan penerapan tarif royalti progresif bagi perusahaan pemegang izin usaha pertambangan (IUP) batu bara.
Direktur Pembinaan Program Mineral dan Batubara Kementerian ESDM Tri Winarno mengatakan pengesahan RPP hasil dari revisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 81 tahun 2019 itu masih menunggu paraf dari otoritas fiskal. Rencananya, RPP itu dapat disahkan pada tahun ini.
“Revisinya di Kementerian Keuangan, masih menunggu dari sana,” kata Tri saat ditemui Bisnis di Kementerian ESDM, Jakarta, Rabu (10/8/2022).
Dalam RPP yang sudah dirampungkan ESDM itu, tarif royalti untuk pemegang IUP bakal berlaku progresif mengikuti fluktuasi harga batubara acuan atau HBA.
Pada RPP itu, tarif royalti untuk pemegang IUP batu bara ditetapkan dengan rentang yang cukup lebar di angka 4 persen sampai dengan 13,5 persen dari harga jual per ton tergantung dari tingkatan kalori batu bara yang dihasilkan.
Adapun, tingkatan kalori yang menjadi tolok ukur pengenaan tarif royalti progresif itu juga diturunkan pada kisaran kurang dari 4.200 Kkal per kilogram (gross air received), 4.200 Kkal per kilogram sampai 5.200 Kkal per kilogram dan lebih dari 5.200 Kkal per kilogram.
“RPP sudah disepakati, tinggal sedikit, paraf keliling lah,” kata dia.