Bisnis.com, JAKARTA - Hiperinflasi yang melanda Turki telah berpengaruh pada bisnis asing yang beroperasi di negara tersebut, setidaknya dalam perihal pelaporan keuangan.
Perusahaan multinasional mulai dari Citibank hingga Vodafone Group telah mulai menggunakan apa yang dikenal sebagai akuntansi hiperinflasi untuk memperhitungkan dampak depresiasi mata uang lokal.
Konsultan KPMG mengatakan pihaknya harus beralih ke aturan keuangan yang berlaku karena tingkat kumulatif kenaikan harga selama tiga tahun mendekati, atau melebihi, 100 persen.
Pertumbuhan harga di Turki telah mencapai dua digit hampir tanpa gangguan sejak awal 2017, tetapi meledak tahun ini hingga mendekati level tertinggi dalam seperempat abad terakhir akibat melonjaknya biaya komoditas dan keengganan bank sentral untuk menaikkan suku bunga.
Bloomberg Economics memperkirakan inflasi tahunan akan mencapai 91 persen pada kuartal ketiga dan hanya melambat menjadi 69 persen pada akhir 2022.
Pada hari Kamis (4/8/2022), ING Groep NV mengatakan mulai menerapkan apa yang dikenal sebagai aturan IAS 29 untuk bisnisnya di Turki, menyusul pengumuman serupa sebelumnya oleh Banco Bilbao Vizcaya Argentaria SA.
Citigroup Inc. juga mengumumkan bahwa mereka telah mengalihkan perhitungan akuntansinya dari acuan lira Turki menjadi dolar AS setelah menganggap ekonomi negara tersebut mengalami hiperinflasi.
Di Turki, akuntansi hiperinflasi tidak berlaku untuk pelaporan keuangan oleh perusahaan dalam mata uang lokal setelah keputusan pemerintah mulai Januari. TAV Havalimanlari Holding, yang mayoritas sahamnya dimiliki oleh Aeroports de Paris, mengatakan awal tahun ini mengadopsi pendekatan serupa untuk 2022.
Sementara itu, para pejabat Turki bersikukuh bahwa inflasi akan segera berbelok dan bergerak lebih lambat. Proyeksi terbaru bank sentral, yang dirilis minggu lalu, menunjukkan inflasi akan berada di 60,4 persen pada akhir tahun.
Angka ini mengalami revisi naik hampir 18 poin persentase yang menempatkan harga 12 kali di atas target.