Bisnis.com, JAKARTA– Revisi PP 109/2012 tentang Produk Tembakau yang tengah digodok pemerintah dinilai masih memerlukan waktu dan diskusi yang panjang sebelum ditetapkan.
Cakupan revisi dengan substansi yang terlalu luas dinilai Fungsionaris Lembaga Kajian dan Pengembangan (Lakpesdam) Nahdlatul Ulama Muhammad Nurkhoiron menjadi salah satu alasan utama diperlukan unsur kehati-hatian dalam pengesahan revisi tersebut.
“Menimbang banyaknya substansi revisi yang terlalu luas seperti perlindungan anak terhadap zat adiktif, pengaturan distribusi, peringatan kesehatan, dan pengaturan terhadap penggunaan produk tembakau alternatif atau rokok elektrik maka dapat disimpulkan bahwa tidak mungkin gagasan tersebut terakomodasi dan dirangkum dalam satu produk regulasi,” ujar mantan Komisioner Komnas HAM ini dalam keterangan tertulis, Senin (1/8/2022).
Dia mencontohkan, niat revisi PP 109/2012 untuk memasukan poin soal rokok elektrik. Tanpa ada telaah mendalam, Nurkhoiron menilai pengaturan terhadap industri yang relatif baru tumbuh di Indonesia ini tak akan tepat sasaran.
Selain soal cakupan kebijakan yang terlalu luas, Nurkhoiron juga menekankan pentingnya aspek partisipasi terutama dari ekosistem industri hasil tembakau atau IHT lantaran mereka yang akan menjadi objek utama kebijakan kelak. Partisipasi menjamin regulasi yang disusun konstitusional sekaligus bukan sebagai formalitas belaka.
“Meskipun saya mengapresiasi bahwa dalam langkah perumus revisi PP 109/2012 ini sudah dilakukan tahapan yang uji publik, saya tetap mendorong pendekatan yang lebih partisipatif dalam proses pembahasan revisi PP 109/2012 tanpa dibatasi jumlah orang, tidak memaksakan pendapat masing-masing, juga melibatkan lintas Kementerian. Ini menjadi tanggung jawab Kementerian terkait dalam memastikan tindak lanjut dari proses penyusunan regulasi secara konstitusional, dan tidak hanya menyelesaikan sebagai formalitas semata,” sambungnya.
Baca Juga
Partisipasi menjadi hal yang penting, apalagi sejumlah pelaku usaha IHT bahkan mengaku mendapat undangan uji publik tersebut secara mendadak, atau sampai kini belum mendapatkan draf terbarunya. Bahkan beberapa pihak mengaku tak ikut diundang dalam uji publik seperti Forum Serikat Pekerja Rokok Tembakau Makanan dan Minuman (FSP-RTMM).
Ketua Umum FSP-RTMM Sudarto yang dihubungi secara terpisah mengaku ia tak mendapat undangan untuk menghadiri uji publik tersebut. Padahal revisi PP 109/2012 dengan pengendalian yang sangat eksesif akan sangat mempengaruhi nasib para pekerja industri tembakau.
“Buruh di pabrik rokok itu, penerimaan upahnya berdasarkan satuan hasil. Kalau pasarnya turun, penghasilannya juga pasti akan turun. Tentu ini akan sangat memberatkan para pekerja di sektor ini," ujar Sudarto.
Menurut Sudarto PP 109/2012 yang berlaku saat ini pun sejatinya telah memberatkan bagi industri sehingga para pekerja juga ikut terimbas. Sebab ketentuan-ketentuan yang ada telah melampaui kerangka pengendalian tembakau global alias Framework Convention of Tobacco Control (FCTC).
Belum lagi, menurutnya dengan sifat yang eksesif dan menjadi payung terhadap pengendalian tembakau, PP 109/2012 berpotensi memicu sejumlah regulasi di tingkat daerah yang makin eksesif lagi sehingga mengancam eksistensi IHT.
“FSP-RTMM ini bukan hanya melindungi para pekerja, melainkan dari aspek hubungan industrial mendorong keberlangsungan industri karena ini akan sangat terkait penyediaan lapangan pekerjaan dan pertumbuhan kesejahteraan pekerjanya,” jelasnya.